Jadi Tahanan Kota, PO Suwandi tak Wajib Lapor

DITAHAN: Terdakwa PO Suwandi ketika tiba di Mataram, usai ditangkap kejaksaan di Jakarta Utara, untuk kemudian ditahan di Lapas Kelas IIA Kuripan, Lobar.(DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Pengalihan status tahanan PO Suwandi, salah satu terdakwa kasus korupsi tambang pasir besi di Blok Dedalpak, Lombok Timur, dengan kerugian senilai Rp 36 miliar, menjadi tahanan kota oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Mataram, ternyata tidak menerapkan agar terdakwa wajib lapor.

“Biasanya kalau sudah di persidangan, (terdakwa) sudah tidak ada wajib lapor,” kata Humas PN Mataram, Kelik Trimargo, Selasa kemarin (19/9).
Kendati tidak lagi menjadi tahanan Rutan, Direktur PT Anugerah Mitra Graha (AMG) tersebut, harus hadir di setiap sidang yang sudah ditentukan jadwalnya. Dan apabila terdakwa tidak hadir dalam persidangan, maka status tahanan kota akan dicabut. “Apabila terdakwa tidak hadir di sidang, terdakwa bisa dimasukkan lagi di tahanan (Rutan) atas perintah majelis hakim,” ujar Kelik.

Mengenai pengawasan terhadap terdakwa, Kelik menyebutkan kalau itu menjadi tugas dari jaksa. “Jaksa yang melakukan, termasuk menghadirkan terdakwa di persidangan,” ucapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Majelis Hakim yang diketuai Isrin Surya Kurniasih, telah menetapkan pengalihan tahanan terdakwa dengan alasan sakit. Pengalihan penahanan itu berdasarkan keterangan surat sakit terdakwa dari Rumah Sakit Kota Mataram.

Terkait pengalihan tahanan terdakwa, Mohammad Hotibul Islam selaku pengamat hukum menilai majelis hakim harus melakukan pengawasan terhadap terdakwa, baik dengan cara meminta aparat dari pengadilan, seperti panitera atau juru sita untuk mengawasi terdakwa. “Ini bentuk tanggung jawab moral hakim yang menerbitkan pengalihan tahanan itu,” kata dosen hukum acara di Universitas Mataram (Unram) ini.

Mengawasi keberadaan terdakwa yang berstatus tahanan kota tersebut, bisa dilakukan dengan kunjungan secara rutin. Hal ini untuk menghindari yang tidak diinginkan terjadi. “Biar tahu, dimana tempat terdakwa menjalani tahanan kota. Karena kalau nanti jadi persoalan di kemudian hari, tentu akan jadi sorotan publik,” ujarnya.
Hotibul menilai pengalihan tahanan terdakwa, guna kelancaran pengobatan terdakwa sendiri. Hal itu juga merupakan hak asasi manusia (HAM).

“Supaya efektivitas penyembuhan, pengobatan tidak rumit, sehingga mungkin lebih bagus, baik dan efektif diberikan tahanan kota,” katanya.
Keberadaan terdakwa yang menjadi tahanan kota dengan alasan sakit, tentu harus dilaporkan ke pengadilan oleh pihak keluarga atau lainnya. “Kalau terdakwa sakit, ya tentu keluarganya lah (melapor). Jadi fleksibel saja. Ada keluarga dan sebagainya. Itu yang memberikan laporan tentang terdakwa yang masih di rumah dan sebagainya,” bebernya.

Dalam pengalihan tahanan, Hotibul mengatakan majelis hakim memiliki alasan subjektif. Dengan melihat situasi dan kondisi tertentu. “Misal terdakwa lagi sakit, mungkin supaya lebih efektif pengobatannya dialihkan status penahannya,” ungkapnya.

Hakim juga, lanjutnya, bisa mengalihkan penahanan hanya dengan melihat surat keterangan sakit yang diajukan pihak terdakwa. Tentu harus mencantumkan hasil diagnosa dari pihak rumah sakit. “Dokter kan sudah di bawah sumpah dalam menjalankan tugas. Karena ada bukti autentik itu. Mungkin dengan melihat bukti itu, majelis hakim jadi percaya untuk terbitkan penetapan,” katanya.

Akan tetapi hakim juga punya kewenangan untuk melakukan klarifikasi terhadap kondisi kesehatan terdakwa. Tentu hal tersebut untuk lebih meyakinkan hakim dalam membuat penetapan pengalihan status penahanan terdakwa. “Supaya objektif, sehingga terjadi kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Apabila ada persoalan di kemudian hari, ada bukti yang menguatkan dalam penetapan itu,” ujarnya.

Setelah mendapatkan pengalihan penahanan menjadi tahanan kota sejak Jumat (15/9) lalu, banyak beredar kabar bahwa PO Suwandi kini berada di Singapura. Namun itu dibantah tegas penasihat hukumnya, Lalu Kukuh Kharisma.

“PO Suwandi tidak pernah ke luar dari Kota Mataram sejak pertama kali ditetapkan sebagai tersangka. Itu informasi tidak benar. Bagaimana mungkin seorang tersangka dibiarkan pergi ke luar negeri,” kata Kukuh, ketika dihubungi Radar Lombok.

Disampaikan Kukuh, PO Suwandi kini telah berumur 74 tahun. Dengan usia itu, pengalihan kliennya menjadi tahanan kota dari tahanan dianggap sudah benar. “PO Suwandi itu sudah usia uzur, dari segi kemanusiaan sudah benar diberikan tahanan kota. Karena melihat kelengkapan alat kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan banyaknya terpidana di sana, kita harus ke depankan asas praduga tidak bersalah,” ujarnya.

Menyinggung terkait kliennya akan menghadiri sidang selanjutnya, yang akan digelar Kamis (21/9) mendatang, di Pengadilan Tipikor PN Mataram, Kukuh enggan berkomentar panjang lebar. “Kita tunggu hari sidangnya saja ya,” timpalnya.

Sedangkan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Nanang Ibrahim Soleh sebelumnya mengatakan bahwa pengalihan penahanan terdakwa PO Suwandi menjadi tahanan kota, merupakan tanggung jawabnya majelis hakim. “Kewenangan di sana. Setelah dilimpahkan ke pengadilan, kewenangan itu ada di pengadilan,” tuturnya.

Kejaksaan menurutnya tidak bisa berbuat banyak, dan hanya bisa melakukan pencekalan terhadap terdakwa, agar tidak melarikan diri. Dan pencekalan ini juga sudah dikoordinasikan dengan pihak Imigrasi. “Iya sudah. Kalau pencekalan sudah. Cuma itu aja,” sebutnya.
Akan tetapi jika terdakwa kemudian melarikan diri melalui jalur darat. Nanang mengakui tidak mengerti akan hal tersebut, kalau sampai terjadi. “Kalau lari lewat darat, kan nggak ngerti juga,” cetusnya. (sid)

Komentar Anda