Aktivitas perdagangan minuman keras (Miras) tradisional jenis Tuak di Kota Mataram masih marak di tengah upaya Pemkot melakukan penertiban. Pemkot pernah menyalurkan dana kompensasi berupa uang modal usaha bagi para pedagang agar mereka mau beralih usaha, namun usaha ini belum menunjukkan keberhasilan. Ada banyak pedagang yang mengaku belum tersentuh bantuan itu sehingga mereka tetap berjualan karena merupakan sumber ekonomi mereka.
ZULFAHMI-MATARAM
Di Kelurahan Cakranegara Timur Kecamatan Cakranegara tepatnya di Jalan Tumpang Sari, terdapat kios-kios kecil yang terbuat dari bambu yang dijadikan tempat menjual Miras tradisional. Pada siang hari bangunan-bangunan ini kosong, namun mulai petang, ada botol-botol yang berisi Tuak dijajakan.
Pemerintah Kota Mataram sebenarnya sudah warga berjualan Tuak di temat terbuka seperti itu. Pemkot kemudian mengeluarkan modal untuk dibagi ke mereka agar memilih usaha lain. Tetapi sayang program kompensasi ini belum sepenuhnya diterima oleh para pedagang.
Salah seorang pedagang Tuak di Jalan Tumpang Sari ini menceritakan, usaha jualan Tuak adalah mata pencaharian utamanya. Dari sinilah ia bertahan hidup. “ Ini usaha saya satu-satunya untuk bertahan hidup,” ungkap Ketut, salah satu pedagang kemarin.
Ia berjualan mulai sekitar pukul 18.00 Wita hingga larut malam. Setiap malam yang terjual antara 20 sampai 25 botol. Satu botol dijual dengan harga Rp 6 ribu sampai 10 ribu untuk ukuran botol kecap. Sementara Miras jenis Brem dijual lebih mahal, antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu untuk ukuran botol tanggung.
Dari Miras ini ia mengaku bisa menafkahi istri, anak dan cucu-cucunya yang saban hari meminta jatah belanja.
Karena ini tempatnya bergantung hidup, ia pun mengaku kesulitan ketika pemerintah daerah meminta ia dan teman-temannya berhenti berjualan Tuak. “ Tidak bisa saya jualan yang lain, selain jualan ini,” ungkapnya.
Kalaupun pemerintah mau memberi bantuan modal, dirinya juga bingung mau berjualan apa sebagai pengganti jualan Miras. Ia mengaku sudah punya banyak pelanggan.” Kalau mau jual kopi atau warung biasa, untungnya sangat kecil,” tegasnya.
Ia mengaku usahanya tidak seramai dulu. Dulu dalam satu malam bisa ia bisa mendapat untunng sampai ratusan ribu. Tuak dipasok dari wilayah Lombok Barat.
Terakhir ia menyampaikan bahwa dirinya belum pernah mendapat kompensasi tersebut. Dulu ia pernah mendengar akan diberikan kompensasi dari Pemkot Mataram nilainya sekitar Rp 2 juta ke atas per pedagang. Tetapi belakangan hal itu tidak jelas. Sebab setelah didata oleh pihak kelurahan ternyata rencana bantuan tersebut belum diterima sampai saat ini.” Saya belum pernah ada terima bantuan makanya saya masih jualan sampai saat ini,” tutur lelaki yang akrab disapa pak Tut oleh pelanggannya ini.(*)