Isu Korupsi Kepala Daerah Kalah oleh Isu SARA

Ilustrasi korupsi

JAKARTA – Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2017 memunculkan fenomena baru. Meski angka korupsi menjelang pemungutan suara tak pernah surut, gaungnya masih kalah dibandingkan dengan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang terjadi di Pilkada 2017.

Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengungkapkan, sepanjang 2016 masyarakat sudah diperlihatkan upaya KPK melakukan penindakan atas sejumlah kepala daerah terduga korupsi. Yang paling baru adalah OTT terhadap Bupati Klaten Sri Hartini. Sebelum bupati Klaten, ada Wali Kota Cimahi Atty Tochija pada Desember 2016, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian pada September 2016, dan Bupati Subang Ojang Sohandi pada April 2016.

’’Melihat deretan nama kepala daerah yang diciduk KPK, sesungguhnya bahaya laten yang mengancam kita saat ini masih tetap korupsi,’’ kata Lucius.

[postingan number=3 tag=”korupsi”]

Baca Juga :  Mori Paling Berpeluang Diusung PAN

Mestinya, respons atas ancaman terhadap bahaya tersebut adalah sebuah langkah antisipatif agar ke depan kasus korupsi kepala daerah tidak terjadi lagi. Langkah antisipatif itu, pertama dan terutama, harus dilakukan sejak dini melalui proses pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah harus menjadi medan utama untuk memastikan langkah antisipasi tersebut dilakukan.

’’Dengan demikian, isu soal pemimpin bersih dan berintegritas seharusnya menjadi jantung perdebatan dalam mengisi masa kampanye,’’ kata Lucius.

Namun, dia menyayangkan, ketika hajatan Pilkada 2017 kian dekat dan tahapannya sedang dalam masa kampanye, isu korupsi pejabat atau isu pemimpin bersih dan berintegritas tidak cukup kuat dalam kampanye. Track record kandidat kepala daerah juga demikian. Justru isu-isu soal SARA yang mencuat dan menyita energi.

’’Alih-alih menjadikan isu pemimpin bersih dan berintegritas, yang justru menjadi jantung perdebatan saat ini malah isu-isu terkait SARA yang sesungguhnya malah menjadi biang perpecahan ketimbang sebagai acuan dalam memilih pemimpin,’’ ujar Lucius.

Baca Juga :  Ali BD Tak Mau Kreativitas Generasi Muda Dibatasi

Dengan menjadikan isu SARA sebagai materi kampanye, orang akan mudah didekati secara emosional. Namun, hal itu menjadi tak rasional karena kontraproduktif dengan konsep seorang pemimpin. ’’Idealnya, pemimpin yang harus memimpin semua warga negara yang berada di daerahnya tanpa kecuali,’’ ucap Lucius.

Karena itu, di waktu tersisa sebelum pilkada digelar pada 15 Februari, Lucius memandang sudah waktunya menghentikan strategi kampanye berbau SARA. Para pemilih sudah semestinya dilibatkan dengan materi-materi kampanye yang rasional, yang berhubungan langsung dengan kapasitas pemimpin yang akan dipilih.

’’Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah sudah cukup untuk menjadi peringatan keras bagi kita, bahwa pemimpin ideal adalah pemimpin yang antikorupsi, jujur, dan bermartabat,’’ tegasnya. (bay/c17/fat)

Komentar Anda