MATARAM – Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Tri Budi Prayitno akhirnya angkat bicara terkait laporan dugaan penyalahgunaan dana hibah senilai Rp 500 juta, yang menyeret namanya. Laporan tersebut dilayangkan oleh pihak Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) NTB ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB pada Januari 2025.
Tri Budi atau yang akrab disapa Yiyit menyatakan, bahwa saat ini pihaknya tengah menjalani proses audit oleh Inspektorat NTB, sebagai bagian dari upaya klarifikasi terhadap penggunaan dana hibah tersebut.
Ia juga menyebut, bahwa pihak kejaksaan telah berkoordinasi dengan Inspektorat untuk mendalami laporan yang ada. “Kami sedang diaudit oleh Inspektorat. Pihak kejaksaan juga sudah koordinasi dengan Inspektorat,” ungkapnya kepada media, Senin (21/4).
Yiyit menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memberikan tanggapan langsung terhadap laporan yang dilayangkan oleh KNPI NTB. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum dan auditor untuk menilai secara objektif pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran oleh Dispora.
“Tentu pada saatnya nanti akan ada hasilnya. Masing-masing harus menuntaskan bilamana ada temuan para pihak. Mana bagian Dispora, mana bagian KNPI yang berkegiatan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa seluruh dana hibah yang dikeluarkan oleh Dispora NTB digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan KNPI sebagaimana telah direncanakan sebelumnya. Semua kegiatan, menurutnya, telah disusun dan dilaksanakan berdasarkan Term of Reference (TOR) yang telah disiapkan.
“Kegiatan yang dibayarkan Dispora merupakan program kegiatan KNPI. Semua pelaksanaannya sudah sesuai prosedur. Setiap kerja ada TOR dan segalanya,” ujarnya.
Terkait tudingan penyalahgunaan dana hibah, Yiyit menyebut hal tersebut sebagai opini sepihak dari pihak KNPI NTB. Oleh karena itu, ia memilih untuk tidak berkomentar lebih jauh demi menjaga objektivitas proses pemeriksaan.
“Saya tidak ingin berkomentar banyak. Supaya adil, biarkan aparat yang terkait menuntaskan tugas-tugasnya,” tambahnya.
Mengenai mekanisme pembagian dana hibah sebesar Rp 500 juta yang bersumber dari DPRD NTB, Yiyit menegaskan bahwa semua telah mengikuti standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Ia juga menyebut bahwa dirinya mulai bertugas di Dispora NTB pada 12 Oktober 2022, di mana sebagian kegiatan dan perencanaan sudah berjalan. “Saya hanya memastikan semua bekerja sesuai TOR dan perencanaan yang sudah ada,” jelasnya.
Meski menegaskan keyakinannya terhadap pelaksanaan kegiatan yang sesuai prosedur, Yiyit tetap menghormati langkah hukum yang ditempuh oleh pihak KNPI NTB. Ia juga menolak memberikan komentar saat disinggung soal polemik dualisme dalam tubuh KNPI NTB yang turut membayangi proses pelaporan ini.
“Sekarang Inspektorat sedang melakukan audit dan kejaksaan sudah berkoordinasi dengan Inspektorat,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Inspektorat Provinsi NTB, Muhariyadi Kurniawan, S.Sos., M.E, yang dikonfirmasi terkait audit penggunaan dana hibah tersebut belum memberikan tanggapan. Upaya konfirmasi melalui telepon juga belum mendapatkan respon hingga berita ini diterbitkan.
Ketua DPD KNPI NTB, Taufiq Hidayat mengatakan Dispora NTB selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dilaporkan sejak 1 Januari 2025 kemarin. “Kita laporkan dia sebagai KPA. Kenapa bisa membayar kegiatan yang berlangsung sebelum anggarannya disahkan? Ini yang jadi persoalan,” ujarnya.
KNPI NTB menyebut ada kejanggalan administratif. Kegiatan yang dilakukan sebelum dana tersedia, justru dijadikan dasar untuk laporan pertanggungjawaban (SPJ) dana hibah APBD Perubahan 2022. Dengan kata lain, dana hibah untuk program baru dipakai untuk membayar kegiatan lama, yang secara hukum bisa dinilai sebagai penyalahgunaan kewenangan anggaran.
“Jadi kegiatan-kegiatan KNPI sebelah itu diklaim untuk SPJ di APBD Perubahan. Dengan kata lain dana anggaran perubahan untuk dibayarkan untuk kegiatan APBD Murni. Inilah yang kami laporkan selaku KPA dia,” terangnya.
Sebelum membawa persoalan ini ke Kejati NTB, Taufiq menyatakan bahwa KNPI NTB sebenarnya telah melaporkan kasus ini ke Polda NTB pada 2022. Namun karena proses yang dinilai stagnan, dan tidak ada itikad baik dari pihak Dispora untuk menyelesaikan polemik ini secara adil, maka mereka memilih jalur hukum yang lebih tinggi. “Kami hanya minta keadilan dan perlakuan yang seimbang. Jangan berat sebelah,” tegasnya. (rat)