MATARAM — Memasuki tahun anggaran 2025, perekonomian regional NTB mengalami tekanan yang cukup besar, terutama dalam penerimaan negara. Efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat turut berdampak pada kinerja perpajakan, dengan realisasi penerimaan yang mengalami kontraksi signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Kebijakan penghematan belanja yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 serta Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan telah menyebabkan perlambatan dalam realisasi anggaran pemerintah.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) NTB, Ratih Hapsari Kusumawardani, S.Si., M.A., M.T., menjelaskan hingga Januari 2025, penerimaan pajak di NTB tercatat sebesar Rp270,68 miliar, atau 7,61 persen dari target tahunan. Namun, angka ini mengalami kontraksi 51,28 persen secara tahunan (yoy).
“Kinerja ini terkontraksi 51,28 persen yoy, ditenggarai kontraksi pada berbagai komponen pajak, antara lain bea keluar, cukai, pajak penghasilan, PBB, dan bea materai,” Ungkap Ratih Hapsari Kusumawardani, S.Si., M.A., M.T., di Mataram.
Berdasarkan keterangan Kanwil Ditjen Bea dan Cukai Bali, NTB, dan NTT, salah satu faktor utama turunnya penerimaan bea keluar adalah tidak adanya target penerimaan dari ekspor konsentrat tembaga, yang kini dialihkan ke smelter PT AMMAN yang baru memasuki tahap commissioning.
Meskipun demikian, PPN dan PPnBM tetap menunjukkan pertumbuhan positif akibat meningkatnya aktivitas ekonomi serta berkurangnya jumlah restitusi dibandingkan tahun sebelumnya. Bea masuk juga tetap tumbuh, didukung oleh meningkatnya importasi beras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Selain pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga mengalami penurunan signifikan, dengan realisasi Rp32,67 miliar atau 6,59 persen dari target 2025. Angka ini mengalami kontraksi 66,9 persen dibanding tahun lalu, dengan penurunan tajam pada PNBP layanan Badan Layanan Umum (BLU) yang anjlok 96,07 persen yoy serta PNBP layanan non-BLU yang turun 26,25 persen yoy.
“Namun demikian, PNBP dari optimalisasi aset dan Barang Milik Negara (BMN) justru tumbuh 39,4 persen, dengan total penerimaan mencapai Rp798,7 juta per Januari 2025,” katanya.
Di sisi perdagangan, NTB melanjutkan tren defisit sejak November 2024, terutama akibat tidak adanya ekspor barang tambang mineral logam. Pada Januari 2025, defisit neraca perdagangan mencapai USD38,28 juta, mengalami kontraksi 572,25 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Kanwil Ditjen Bea dan Cukai, devisa ekspor anjlok sebesar USD181,87 juta (yoy), dengan total ekspor hanya USD14,93 ribu hingga akhir Januari 2025.
Sementara itu, devisa impor juga mengalami kontraksi USD135,49 juta (yoy), terutama akibat berkurangnya impor mesin setelah selesainya pembangunan smelter PT AMMAN. Total nilai devisa impor tercatat USD38,29 juta.
Realisasi belanja APBN di NTB hingga Januari 2025 mencapai Rp2,58 triliun, atau 9,74 persen dari pagu, dengan pertumbuhan 20,84 persen yoy.
Namun, belanja satuan kerja Kementerian/Lembaga (K/L) hanya mencapai 4,33 persen dari pagu dan mengalami kontraksi 17,35 persen yoy. Belanja barang turun 53,6 persen yoy. Belanja modal anjlok 98,5 persen yoy. Belanja pegawai tetap tumbuh 38,9 persen yoy.
Ratih menjelaskan bahwa pengurangan belanja ini merupakan dampak langsung dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. “Instruksi Presiden tentang efisiensi belanja menyebabkan kontrak barang dan jasa ditunda, sehingga realisasi belanja menjadi lebih rendah dibanding tahun lalu,” jelasnya.
Meskipun terjadi efisiensi anggaran, APBN tetap dioptimalkan untuk sektor-sektor prioritas, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Sektor Kesehatan: Rp10,71 miliar (belanja K/L) dan Rp1,05 miliar (transfer ke daerah). Sektor Pendidikan sebesar Rp7,97 miliar (belanja K/L) dan Rp544,4 miliar (transfer ke daerah). Sektor Infrastruktur: Rp1,77 miliar (belanja K/L).
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp1,49 triliun telah disalurkan untuk mendukung operasional pemerintah daerah. Pemerintah juga telah menyalurkan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp544 miliar, yang diberikan kepada 9.840 sekolah, dengan total penerima manfaat 1,007 juta siswa.
“Sementara itu, Dana Bagi Hasil (DBH) atas sumber daya alam juga telah dicairkan, dengan rincian DBH Minerba sebesar Rp235,63 miliar. DBH Perikanan Rp1,54 miliar. DBH Kehutanan: Rp152,6 juta,” pungkasnya. (rat)