MATARAM – Persoalan pembayaran hosting fee Rp 231,29 miliar, untuk gelaran MotoGP di Sirkuit Mandalika semakin tidak jelas. Terbukti hingga kini antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Provinsi NTB), masih silang pendapat mengenai siapa yang seharusnya menanggung biaya tersebut.
Disatu sisi, pemerintah pusat menginginkan agar kewajiban hosting fee dibebankan kepada daerah. Sedangkan Pemda tetap bersikukuh bahwa tanggung jawab pembayaran tersebut, seharusnya berada di tangan pemerintah pusat.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB, Lalu Gita Ariadi, mengungkapkan bahwa sejak awal perhelatan MotoGP sudah menjadi komitmen pemerintah pusat. Hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014, Mandalika ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata.
Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam pertemuan di Istana Merdeka pada 19 Maret 2019, dimana Presiden bersama ITDC, MGPA, pembalap, dan Kementerian Pariwisata membahas acara tersebut. Pada tahun 2021, NTB ditunjuk sebagai tuan rumah MotoGP, yang menjadi bagian dari country branding Indonesia untuk mendukung sektor pariwisata dan program Wonderful Indonesia.
Dalam persiapannya, pemerintah daerah telah banyak berkontribusi, mulai dari membangun infrastruktur pendukung, seperti Bandara dan akses jalan, hingga meminjam dana sebesar Rp 500 miliar untuk meningkatkan kapasitas rumah sakit setempat. Dana pinjaman ini digunakan untuk mendukung fasilitas kesehatan yang diperlukan selama penyelenggaraan MotoGP.
Langkah-langkah ini dilakukan untuk memastikan acara berjalan dengan lancar, dan mendukung promosi pariwisata nasional. “Daerah selama ini sudah mempersiapkan banyak hal, seperti infrastruktur rumah sakit, manajemen lalu lintas, dan kebersihan. Prinsipnya, Kementerian Pariwisata memahami konsep ini,” ungkap Lalu Gita Ariadi, Selasa (10/9).
Namun masalah muncul ketika Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI menyatakan tidak dapat membayar hosting fee akibat adanya temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian, Pemda merasa bahwa tanggung jawab ini seharusnya tidak dialihkan ke daerah, karena keduanya merupakan entitas pemerintah yang sama. “Kementerian tidak bisa membayar, lalu dioper ke daerah. Apakah daerah boleh? Sama-sama tidak bisa, ini hanya masalah teknis,” jelasnya.
Mantan Pj Gubernur ini menekankan bahwa jika Kementerian Pariwisata tidak bisa membayar hosting fee, maka seharusnya ITDC, melalui anak perusahaannya MGPA, yang menanggung biaya tersebut. MGPA yang merupakan cucu perusahaan ITDC, memiliki peran dalam mengelola sirkuit dan acara MotoGP. Dana promosi untuk Wonderful Indonesia seharusnya juga bisa dikoordinasikan dengan ITDC dan MGPA.
“Jadi begitu tidak boleh menurut KPK, kemudian dioper ke daerah. Tidak bisa seperti itu. Teknisnya, silahkan dari Kementerian Pariwisata dana promosi Wonderful Indoensia sebagai country branding itu dikirimkan ke MGPA. Selanjutnya MGPA yang bekerja sama dengan Dorna, dan sebagainya eksekusi. Itu kan entitas bisnis MGPA memang itu. Begitu sederhana sebenarnya,” tegas Gita.
Gita juga menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bisa begitu saja menerima beban hosting fee tersebut. Bahwa setiap rupiah yang sudah ditanggung oleh Pemda telah mengikuti mekanisme dan evaluasi anggaran yang ketat, termasuk proses politik dengan DPRD.
Daerah sudah banyak berkontribusi, mulai dari membangun rumah sakit dan infrastruktur lainnya untuk mendukung MotoGP. Ditambah tahun 2024, event nasional sudah banyak dibebankan ke daerah, mulai dari mensukseskan pelaksanaan Pileg, Pilkada, dan PON. “Kemarin pra kondisi pas Pileg itu, bagaimana stunting terkendali, kemiskinan ekstrem, inflasi. Untuk pengendalian inflasi stunting kan uang semuanya,” ujar Gita.
Kalaupun ada dana DAU dari pemerintah pusat, semua sudah earmark, atau diarahkan ke pos-pos tertentu. Sehingga tidak ada keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran tersebut, ke tempat lain, termasuk untuk membayar hosting fee MotoGP.
Situasi ini menjadi semakin mendesak menjelang perhelatan MotoGP, dan Pemda berharap agar penyelesaian yang tepat dapat dicapai dengan mempertimbangkan semua aspek dan sejarah penyelenggaraan acara tersebut.
“Kalau ada mekanisme yang salah, dirapikan sesuai aturan. Pemda juga tidak bisa bayar. Apa kementerian dikira tidak boleh, terus daerah juga gampang. Tidak boleh juga seperti itu. Kan itu logikanya,” tegas Gita.
Gita berharap agar semua pihak kembali pada sejarah perhelatan MotoGP di Mandalika. BPK RI memang menemukan adanya masalah teknis dalam pembayaran hosting fee, namun hal ini bisa diselesaikan dengan menyalurkan dana promosi dari Kementerian Pariwisata ke MGPA, yang kemudian bisa membayar kepada Dorna. “Ini seiring waktu, dengan usulan kami mekanismenya disempurnakan, tidak langsung ke kementerian pariwisata, tetapi kementerian pariwisata membayar promosi,” ujarnya.
Terlepas dari itu semua, dalam rapat terakhir, Menteri Pariwisata Sandiaga Uno masih optimistis mengenai pelaksanaan MotoGP di Mandalika. Selain itu, sinyal positif juga terlihat dengan adanya undangan pejabat pusat di Lombok pada 27-29 September, yang menunjukkan bahwa anggaran mungkin sudah tersedia. (rat)