Honorer Lobar di Era Kompetitif

TENAGA HONOR : Unjuk rasa tenaga honor kesehatan. (Dok/Radar Lombok)

Oleh : Rasinah Abdul Igit

Para tenaga honor merasa perlakuan negara terhadap mereka tidak adil. Ada yang sudah puluhan tahun mengabdi tanpa mekanisme penggajian yang jelas, mereka belum juga diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Belakangan, UU nomor 20 tahun 2023 mengamanatkan pemerintah untuk menyelesaikan penataan pegawai non ASN paling lambat Desember 2025. Kebijakan penghapusan tenaga honorer efektif berlaku per 1 Januari 2025. Sebagai gantinya pemerintah menyiapkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Honorer masuk lewat ini. Tiba waktu rekrutmen, jumlah kuota per daerah terbatas disesuaikan dengan kekuatan fiskal. Gaji dan tunjangan PPPK dibebankan ke APBD.

Di Lombok Barat saja, jumlah tenaga honor non ASN lebih dari 5 ribu orang. Mereka tersebar di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Bagaimana awal mula mereka masuk menjadi tenaga honor dulu? Macam-macam. Yang mendominasi adalah jalur titipan. Titipan bupati. Titipan wakil bupati. Titipan tim sukses. Titipan kepala dinas. Titipan keluarga kepala dinas. Titipan kepala bidang dan banyak lagi. Proses seleksi mereka tidak ada. Itu sebabnya mereka pun tidak punya spesialisasi. Sebagian besar adalah tenaga lepas, lepas melakukan apa saja yang diminta atasan. Dari mulai membuat kopi hingga antar surat. Dari jumlah yang ada ini, hanya sebagian kecil yang telah direkrut menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ada kuota PPPK Paruh Waktu, tapi ini semacam penghibur, sambil menunggu entah kapan mereka bisa direkrut menjadi menjadi berstatus Penuh Waktu.

Saban tahun masalah tenaga honor selalu hangat karena beberapa hal, terutama aspek dilematisnya. Satu. Pemerintah daerah, termasuk Lombok Barat, dihadapkan pada fakta keberadaan honorer dengan jumlah yang banyak dengan proses rekrutmen dan spesialisasi yang tidak jelas. Mereka tidak mendapatkan status resmi sebagai pegawai tetap, dan tanpa jaminan status atau perlindungan yang jelas. Jumlah mereka yang banyak juga rentan dipolitisir. Saat-saat ini mereka tengah menuntut agar direkrut menjadi PPPK. Mereka juga tidak mau PPPK status Paruh Waktu, melainkan Penuh Waktu. Anggota dewan bersuara agar pemerintah merekrut mereka.

Baca Juga :  LAZ Pastikan tak Ada Jual Beli Jabatan di Lobar

Dua. Keberadaan mereka berpengaruh besar terhadap keuangan daerah. Sebelum ketentuan penataan pegawai non ASN dan pemberlakuan penghapusan tenaga honor, pemerintah daerah mengatur sedemikian rupa anggaran untuk gaji mereka. Setelah pemberlakuan PPPK, beban daerah tentu tidak menyusut. Pemda harus memikirkan mereka yang sudah direkrut, juga yang belum direkrut. Di saat yang bersamaan, pemerintah pusat menggarisbawahi ketentuan bahwa belanja daerah harus maksimal 30 persen dari total APBD. Daerah diberikan waktu tinggal dua tahun untuk menurunkan belanja pegawai mereka yang rata-rata bengkak. Lombok Barat adalaha daerah dengan angka belanja pegawai yang masih tinggi. Totalnya sekitar 900 miliar dari total APBD 2025 yang berada di angka sekitar Rp 2,2 triliun. Itu untuk membayar gaji, tunjangan lauk-pauk pegawai, tambahan penghasilan, honorarium kegiatan, vakasi, belanja pensiun, program sosial pegawai dan lain-lain. Di dalamnya juga untuk membayar gaji tenaga honor (termasuk guru honor yang diangkat menjadi Guru Tetap Daerah). Angka fiskal Lombok Barat, jika dilihat dari postur belanja pegawai yang masih di atas 40 persen seperti angka di atas, adalah angka tidak sehat.

Kembali ke tenaga honor. Catatan ini tidak untuk menghakimi tenaga honor. Lupakan mekanisme mereka masuk menjadi pegawai honor. Lupakan bahwa mereka direkrut tidak berdasarkan kebutuhan dan berkesesuaian dengan spesialisasi mereka. Faktanya, tenaga honor adalah pegawai daerah. Mereka harus mendapat kepastian, baik itu kepastian kesejahteraan maupun kepastian status mereka. Pemerintah daerah harus memahami beberapa hal sebagai berikut dan mungkin bisa menjadikannya solusi.

Baca Juga :  Jembatan Retak, Desa Kekait dan Sekitarnya Terancam Terisolir

Pertama. Di era yang terbuka dan kompetitif ini, tenaga honor yang ada saat ini harus diberikan informasi yang utuh menyangkut status mereka. Tenaga honor harus tau bahwa ada kebijakan yang pasti terkait penghapusan honorer. Pemerintah daerah tidak boleh menjanjikan hal-hal yang bukan menyangkut kewenangannya terkait keberadaan mereka.

Kedua, tenaga honor yang masuk database sudah pasti akan direkrut menjadi PPPK secara bertahap. Di tengah dunia yang menantang dan semakin banyak menawarkan peluang, tenaga honor punya pilihan, bertahan bertahun-tahun dengan kondisi stagnan sambil menunggu kapan akan direkrut sebagai ASN, ataukah memilih merambah pekerjaan luar yang lebih baik. Ini berkaitan dengan mindset. Pemerintah bisa mengintervensi mindset mereka. Pemerintah daerah bisa memasukkan para tenaga honor di pelatihan-pelatihan skill dan keterampilan sesuai minat dan bakat mereka. Pemerintah bisa melepas mereka, berhenti jadi tenaga non ASN, dan terjun ke dunia kerja yang lebih luas, asal dengan ada bekal keterampilan hasil pelatihan itu. ASN harus siap menerima kondisi ini, sama seperti orang-orang yang tidak menjadi pegawai daerah di luar mereka yang harus kompetitif.

Ada banyak program pelatihan di pemerintah daerah. Pesertanya nanti adalah para tenaga honor. Mereka harus siap dengan ketentuan bahwa jika tidak terserap jadi PPPK, mereka tidak lagi berstatus ASN.