Heterarki Masyarakat Muslim Bima dan Indonesia

Prof H Abdul Wahid dan Prof Hj Atun Wardatun, pasangan suami isteri mengikuti pengukuhan sebagai guru besar UIN Mataram secara bersamaan, Rabu (16/11). (IST/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Prof H Abdul Wahid dan Prof Hj Atun Wardatun dikukuhkan sebagai Guru Besar masing-masing bidang Antropologi Agama dan Bidang Hukum Keluarga Islam. Kedua pasangan suami istri ini dikukuhkan bersamaan secara langsung oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Prof H Masnun Tahir, Rabu (16/11). Pada pengukuhan itu, kedua profesor kelahiran Bima ini mengangkat pidato pengukuhan berjudul: “Heterarki Masyarakat Muslim Bima (dan) Indonesia: Dari Quasi Hegemoni ke Kolektif Agensi”.

“Upaya ini dimulai dari penelusuran kembali karya-karya yang telah kami hasilkan untuk menemukan benang merah dan ide pokok yang bisa disumbang bagi pengembangan bidang keilmuan yang diamanatkan menjadi keahlian kami berdua, yaitu Antropologi Agama dan Hukum Keluarga Islam,” ungkap Prof Abdul Wahid saat menyampaikan orasi ilmiahnya.

Menurutnya, Antropologi Agama dan Hukum Keluarga Islam adalah penting untuk mengonsolidasikan keilmuan agar koheren (utuh) ke dalam dan konsisten keluar”, artinya karya-karya yang dihasilkan itu merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan keilmuan lain.

Baca Juga :  Ombudsman NTB Dorong Pembentukan Focal Point PPDB 2023

“Kami mengumpulkan kembali karya-karya yang yang telah dihasilkan dalam lebih dua dasawarsa terakhir (antara 2000- 2022) — periode penting bagi pembentukan nalar dan kinerja akademik,” ucapnya.

Dipaparkan lebih jauh, tujuannya tidak lain untuk menemukan titik temu yang bisa disimpuli oleh sebuah konsep, kemudian bagaimana konsep tersebut dapat diterapkan untuk menjelaskan kegelisahan akademik yang muncul dari latar dan bidang keilmuanmasing-masing. Pertanyaan INTI yang mendorong upaya pencarian titik temu melalui penggunaan konsep yang sama ADALAH – 3 – “Adakah dari karya-karya itu muncul perspektif yang dapat menawarkan nilai emansipatoris melihat relasi gender dalam keluarga dan relasi otoritas dalam ranah keagamaan dan budaya?” Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menguraikan, ternyata ada lapisan kebudayaan yang tidak melulu soal struktur dan hierarki (pertingkatan tunggal dan searah) dan cara otoritas bermain dalam setiap lapisan itu. Terdapat perkara lain yang sering diabaikan, yakni agensi (kapasitas bertindak) dan heterarki (pertingkatan jamak dan multi-arah) yang membentuk moralitas kekuasaan. Ternyata kekuasaan dalam masyarakat tidak begitu saja merezim: mengental pada satu entitas tunggal, melainkan menyebar seperti sebentuk spiral — persis tesis foucaultian. Konsep heterarki berangkat dari ilmu sosial, dapat dipakai untuk melihat relasi, otoritas, dan kekuasaan dalam masyarakat Muslim Indonesia, khususnya di Bima.

Baca Juga :  Empat Bulan Gaji Guru Honorer Belum Dibayar

Ritual – ritual yang berserakan dalam masyarakat Muslim Bima, umumnya menggambarkan adanya unit-unit kekuasaan yang berelasi satu sama lain, disamping menghasilkan relasi kuasa dominatif juga jaringan yang bersifat distributif. Ada bentangan quasi-hegemoni dan kolektif agensi yang berperan sebagai pengatur relasi yang memungkinkan terjadinya distribusi kuasa yang cair dan tidak kaku di dalam masyarakat Muslim Bima. Konfigurasi ini menggambarkan adanya kesadaran organik yang dapat membentuk relasi kesalingan dan kesetaraan dalam kebudayaan multikultural.

“Bagaimana kami Melihat masyarakat Muslim Indonesia dan Bima adalah masyarakat Muslim yang memendam karakteristik Malay World, di mana Islam terpatri sedemikian rupa,” ujarnya. (adi)

Komentar Anda