Harus Tambah Personel Polhut

Yeq Agil (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Sejak beberapa tahun lalu, Pemerintah Provinsi NTB telah mengikrarkan perang terhadap praktik illegal logging. Namun komitmen tersebut belum diikuti dengan tindakan nyata untuk melindungi dan menyelamatkan hutan yang semakin rusak parah.

Kondisi hutan di NTB terus gundul. Hal itu terjadi di seluruh kawasan hutan karena pengawasan yang tidak maksimal. Akibatnya, praktik perambahan hutan atau illegal logging masih terus terjadi dengan mudahnya. Salah satu penyebab utamanya, jumlah polisi hutan (Polhut) yang sangat terbatas. Sementara luas hutan di NTB mencapai jutaan hektare. “Lakukan penambahan personil keamanan hutan,” saran anggota Komisi II DPRD Provinsi NTB, Yeq Agil.

Dalam waktu dekat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2021 akan disusun. Apabila ingin menjaga hutan, maka harus dianggarkan untuk penambahan personil keamanan. Adanya pandemi Covid-19, diakui Yeq Agil membuat pendapatan daerah menurun. Namun hal itu bisa disiasati demi kelestarian hutan. “Di tengah kondisi pendapatan daerah yang tidak maksimal akibat Covid-19, pemerintah perlu menambah anggaran untuk pengadaan personil keamanan. Dan ini kita harap rekan-rekan DPRD mensuport mulai APBD 2021 secara bertahap,” ujar politisi PKS yang juga anggota Badan anggaran (Banggar) ini.

Hal yang harus dipahami bersama, lanjutnya, pemerintahan Zulkieflimansyah dan Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi) memasukkan masalah perlindungan dan pengelolaan hutan dalam visi misinya. Khususnya misi ke-4, yaitu NTB lestari dan asri dengan program unggulan NTB hijau. “Program ini sudah berjalan, namun kita lihat masih ada kendala di lapangan yang harus kita selesaikan,” katanya.

Berdasarkan data yang diterima komisi II, sejak 5 tahun terakhir kondisi hutan di NTB semakin rusak. Bahkan kerusakan tersebut dinilai cukup serius. “Memang banyak faktor penyebabnya, dan salah satu yang dominan adalah masih maraknya illegal logging. Kemudian reboisasi hutan yang belum maksimal. Padahal, hutan adalah masa depan kehidupan kita,” ucapnya.

Selain menambah personel Polhut, Pemprov NTB harus memperkuat koordinasi. Baik itu dengan pemerintah kabupaten/kota, maupun pemerintah desa di lingkar hutan. Selama ini, peran pemerintah desa sangat minim dalam penanggulangan illegal logging. Hal itu terjadi karena belum tumbuhnya gerakan bersama. “Pemda dan Pemdes harus dimaksimalkan dalam melakukan pengawasan. Termasuk juga untuk program reboisasi dan pemanfatan hasil hutan yang bermanfaat secara ekonomi,” kata Agil.

Kesadaran dari masyarakat lingkar hutan, juga sangat penting. Apabila masyarakat setempat memiliki semangat untuk menjaga hutan, maka akan menutup ruang praktik illegal logging. Terakhir, Yeq Agil mengingatkan agar penegakan hukum bisa dilakukan secara tegas hingga ke akar-akarnya. Pasalnya, praktik illegal logging masih terjadi karena masih sebatas menghukum pelaku di lapangan. Sementara bos besar atau mafia sebagai pemilik modal masih bebas berkeliaran.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Madani Mukarom mengakui jika tenaga pengaman hutan sangat minim. Hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab kondisi hutan semakin kritis. “Tenaga pengaman hutan terbatas, rasio saat ini 1 petugas harus menjaga 2.200 hektar,” ungkapnya.

Luas hutan di NTB mencapai 1.071.722 hektare. Belajar dari daerah-daerah lain seperti di Jawa, 1 Polhut bertugas menjaga 100 hektare hutan. Apabila ingin mengikuti seperti di daerah lain, maka jumlah petugas yang dibutuhkan di NTB sekitar 10.700 orang.

Dampak buruk kurangnya petugas, tindak pidana kehutanan (Tipihut) semakin banyak terjadi. Data terbaru yang dimiliki Mukarom, kasus Tipihut sudah mencapai 37 kasus tahun ini saja. “Tahun ini ada 37 kasus kehutanan dengan perusakan fasilitas dan penganiayaan aparat oleh oknum terduga pelaku,” ungkap Mukarom.
Salah satu langkah yang akan diambil untuk meminimalisir Tipihut seperti illegal logging, yaitu melarang hasil hutan berupa kayu keluar dari Pulau Lombok dan Sumbawa. “Sedang kami siapkan draf-nya,” ucap Mukarom.

Moratorium penerbitan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) tersebut, diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan NTB akibat perambahan. SKAU sendiri adalah dokumen angkutan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan Hasil Hutan Hak (kayu bulat dan kayu olahan rakyat).
SKAU diterbitkan oleh kepala desa/lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa di mana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut. Pejabat penerbit SKAU ditetapkan oleh bupati/wali kota berdasarkan usulan kepala dinas kabupaten/kota.

Selain SKAU resmi, keterlibatan oknum juga ditengarai menerbitkan dokumen palsu. Oleh karena itu, pengawasan dan penjagaan pelabuhan oleh Tim Gugus Tugas Kehutanan dan aparat TNI/Polri diperketat selama moratorium SKAU diberlakukan. (zwr)

Komentar Anda