MATARAM – Rapat paripurna DPRD NTB terkait penyampaian laporan komisi-komisi atas hasil pembahasannya terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur NTB tahun 2024 diwarnai banyak interupsi. Rapat paripurna digelar Senin malam (3/4) mulai pukul 20.50 WITA.
Sesudah rapat paripurna dibuka oleh Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaedah, Ketua Fraksi Partai Golkar sekaligus ketua inisiator usulan hak interpelasi Hamdan Kasim melakukan interupsi.
Hamdan mempertanyakan sikap pimpinan DPRD yang belum juga mengagendakan pembacaan surat masuk terkait pengajuan usulan hak interpelasi dana alokasi khusus (DAK) tahun 2024 yang disampaikan oleh 14 Anggota DPRD NTB.
Sesuai tata tertib, pembacaan surat masuk harus dilakukan sebelum acara inti. Menurutnya, pengajuan hak interpelasi sudah memenuhi syarat, yaitu disetujui minimal oleh 10 Anggota DPRD NTB dan lebih dari satu fraksi. “Usulan hak interpelasi DAK sudah memenuhi semua persyaratan. Akan tetapi, kita pertanyakan kenapa sampai saat ini surat itu belum dibacakan oleh pimpinan,” kata politisi muda Partai Golkar tersebut.
Menurutnya, meski hak interpelasi itu adalah hak konstitusional yang melekat istimewa kepada Anggota DPRD, hak interpelasi itu bukan sesuatu yang menyeramkan atau menakutkan. “Kita hanya ingin bertanya. Dan kita bertanya kepada Gubernur tentang kebijakan yang strategis dan berdampak luas kepada masyarakat, seperti soal DAK ini. Kenapa hal ini ditakutkan,” ucap Anggota DPRD NTB dapil Lotim selatan tersebut.
Total DAK 2024 ini berjumlah sekitar Rp1,6 triliun yang terdiri dari anggaran fisik sebesar Rp400 miliar dan anggaran non-fisik sekitar Rp1,2 triliun. Ia mencontohkan lab kesehatan daerah yang dianggarkan sebesar Rp10 miliar tidak proses tender padahal sudah masuk sistem rencana umum pengadaan (sirup), alasannya karena sudah diturunkan oleh PPK-nya. Hal tersebut melanggar Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa. “Sebab itu, mohon pimpinan membacakan hak interpelasi sebagai surat masuk. Entah kapan mau dibahas, silakan kita agendakan pada sidang berikut,” ujarnya.
Interupsi Hamdan Kasim memantik interupsi pro dan kontra dari para Anggota DPRD NTB. Ada yang menyetujui pembacaan surat masuk terkait pengajuan hak interpelasi tersebut di awal. Namun, ada juga anggota yang mengusulkan agar pembacaan surat masuk tersebut dilakukan di akhir rapat paripurna.
Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaedah selaku pimpinan rapat paripurna lebih menghendaki surat masuk usulan hak interpelasi dibacakan di akhir agenda. Ia mempertimbangkan berbagai dinamika yang bakal terjadi apabila dibacakan di awal. Sehingga, dikhawatirkan bisa berdampak terhadap pembahasan agenda inti rapat paripurna. “Kita selesaikan dulu agenda LKPJ. Kita pahami ini akan menimbulkan dinamika dan persepsi yang berbeda dari masing-masing anggota. Karena itu kita bacakan di akhir,” ucap Isvie.
Pernyataan Baiq Isvie Rupaedah pun diinterupsi oleh Raden Nuna Abriadi. Politisi PDIP itu mengatakan bahwa selama menjadi anggota dewan, tidak pernah ada pembacaan surat masuk di akhir agenda. “Selama saya menjadi anggota dewan, tidak pernah ada pembacaan surat masuk di akhir agenda,” tegasnya.
Interupsi dilanjutkan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat Indra Jaya Usman. Ia meminta pembacaan surat masuk usulan hak interpelasi dilakukan di awal agenda. Tujuannya supaya tidak mengganggu agenda berikut.
IJU mengatakan bahwa pembacaan pengajuan hak interpelasi ini sudah sangat mendesak. Mengingat surat usulan hak interpelasi sudah masuk sejak beberapa pekan lalu, namun surat usulan tersebut tak kunjung dibacakan dalam rapat paripurna. “Persoalan hak interpelasi ini tidak boleh kita anggap sebagai bukan agenda. Ini sangat penting,” tegas Ketua DPD Demokrat NTB ini.
Setelah diwarnai pro dan kontra, pimpinan rapat paripurna akhirnya memutuskan membaca surat masuk tersebut di awal agenda. Kemudian, Sekretaris DPRD NTB Surya Bahari membacakan langsung dokumen pengajuan hak interpelasi tersebut, lengkap dengan pandangan dari sejumlah fraksi.
Di antara fraksi-fraksi tersebut, terdapat lima fraksi yang menolak pengajuan hak interpelasi. Di antaranya adalah Fraksi PKS, Partai Gerindra, ABNR, PKB, dan PPP. “Lima fraksi tersebut menolak pengajuan hak interpelasi dengan sejumlah alasan,” terangnya.
Di antaranya, Fraksi PKS menyampaikan penolakan dengan alasan tidak memenuhi syarat substansi dan bukan kebijakan strategis yang berdampak luas. Selain itu, DAK adalah kebijakan pemerintah pusat yang merupakan dana transfer ke daerah yang bersumber dari APBN dan telah ditentukan penggunaannya oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, pengawasan utama DAK adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah daerah. “Syarat formil pengajuan interpelasi juga tidak terpenuhi,” ungkap Surya Bahari membacakan pandangan Fraksi PKS. (yan)