FKKD NTB Tolak Perpres 104

TOLAK: Rombongan FKKD NTB saat berdialog di ruang rapat kantor Gubernur NTB menolak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022, Rabu (15/12).(Faisal Haris/radarlombok)

MATARAM – Gejolak dan isu hangat terjadi di kalangan kepala desa (Kades) dan pemerintah desa (Pemdes) bebarapa hari terakhir ini. Termasuk kepala desa di Provinsi NTB ikut serah  pasca turunnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022 yang telah ditetapkan pada 29 November 2021.

Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Provinsi NTB mendatangi Gubernur NTB untuk berdialog langsung atas sikap penolakan terhadap Perpres Nomor 104 Tahun 2021 yang dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang Desa. Namun dikarenakan Gubernur tidak berada ditempat maka rombongan FKKD diterima oleh Kepala DPMPD DUKCAPIL NTB, H. Ashari dan jebatan lainnya yang mewakili gubernur diruang rapat utama kantor gubernur.

Ketua FKKD NTB, Sahril menyampaikan maksud dan tujuan hadirnya bersama rombongan kepada desa yang tergabung dalam FKKD NTB. Atas dasar Perpres Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022. Menurutnya, turunnya peraturan tersebut tentu diangkap bertentangan dengan Undang-Undang tentang Desa. “Kami tidak mau melawan pemerintah. Tetapi ketika pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka kami siap jadi gerda terdepan untuk melawan kezaliman itu sendiri. Termasuk pemerintah daerah, termasuk Pak Gubernur,” tegasnya saat berdialog.

Karena ketika ada peraturan yang dikeluarkan pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak memiliki keperpihakan kepada desa maka FKKD NTB inilah yang jadi garda terdepan melawan kebijakan. Termasuk kebijakan gubernur. “Tetapi kami tetap melalui prosedural, tetap menjaga etika kami. Tapi inilah bentuk-bentuk semangat kami atas penolakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat,” terangnya.

Sahril yang mewakili rombongan, menegaskan, alasan FKKD NTB menolak dan meminta Presiden Joko Widodo untuk segara mencabut Perpres Nomor 104 tahun 2021 dinilai tidak mencerminkan keberpihakan kepada desa. Terlebih sangat bertentangan dengan semangat dari Undang-Undang Desa. “Perpres ini sudah jelas tidak mencerminkan ruh atau amanat dari pada undang-undang desa,” tegasnya disambut takbir dari kepala desa yang hadir.

Ia juga menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 pada pasal 20 telah mengatur tentang penetapan RKP Desa yang harus dilalui dalam proses perencanaan yang mengacu pada RPJM dan RKP dalam APBDes. Sehingga keluarlah Permendagri Nomor 114 yang mengatur ketentuan terkait batas akhir dalam penetapan RKPDes. “Disisi lain kami pemerintah desa disuruh tertib dalam administrasi segara diselasaikan APBDes. Tetapi disisi lain pemerintah tidak konsisten. Ini yang membuat kami kecewah,” kesalnya.

Baca Juga :  Mori Tanggapi Santai Laporan Dirinya ke BK

Bahkan dalam peraturan tersebut, pihaknya telah memahami jika dalam pasal 49 ada yang mengatur mengenai perubahan RKP Desa ketika pemberlakuan khusus dan darurat. Tapi persoalannya pandemi yang menjadi alasan dikeluarkan Perpres diangkap tidak beralasan. Terlebih pendemi Covid bukan sekarang terjadi tetapi sudah beberapa tahu lalu. “Artinya sudah lewat sehingga Peraturan Presiden ini kami bisa nyatakan cacat demi hukum. Karena apa?. Tidak menganut dari pada ketentuan sifat khusus dan darurat tersebut, terlebih ditetapkan tanggal 29 November 2021,” jelasnya.

Oleh sebab itu, kata Sahril, jika Perpres tersebut dipaksakan berlaku tetapi akan menambah pekerjaan kepada desa atau pemdas. Karena dalam menyusun RKP Desa tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus proses ada, baik musyawarah dusun (Musdus) dan Musyawarah Desa (Musdes) yang harus dilalui baru kemudian ditetapkan RKP Desa. “Sekarang ujuk-ujuk Jokowi ini mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 104, terus kami merubah RKP lagi. Terlebih tanpa mempertimbangkan bagaimana kondisi desa masing-masing desa dalam menentukan sasaran presentase yang ditetapkan,” tandasnya.

Sahril juga menyampaikan, aspirasi kepala desa di pulau Sumbawa yang sebelumnya telah melakukan musyawarah bersama forum kepala desa. Mereka menuturkan jika nanti diberlakukan 40 persen untuk BLT maka pihaknya dengan jumlah penduduk yang kecil akan merasa kebingungan dalam menentukan sasaran pemberian BLK. Karena pada saat diterapkan 10 persen saja kepala desa dibuat kelimpungan karena tidak bisa terserap. “Salah satu contoh ada desa di NTB yang jumlah Kepala Keluarga (KK) sekitar 320 KK. Lalu saran untuk BLT itu 73 KK sehingga hanya 10 persen dengan memiliki DD Rp 800 juta. Hanya 73 KK sasarannya. Tapi karena KK lainnya sudah terkaper dengan bansos dari kementerian lainnya. Sehingga ada sisi sarannya itu 37 KK. Itu hanya 10 persen yang terserap,” tuturnya.

Lalu bagaimana ketika diberlakukan, 40 persen dari DD yang diterima masing-masing Desa. Apalagi tanpa ada pengecualian, dalam pemberlakuan kebijakan tersebut tentu akan menampah masalah ditingkat desa.  “Dimana otak pemerintah berpikir kalau seperti ini.  Jangan hanya melihat desa yang besar tetapi lihat juga desa yang kecil. Sehingga berorentasi ada Silpa nanti dalam proses perencanaan, ada perubahan-perubahan yang harus dibuat kembali. Jangan membuat pekerjaan lagi di desa ini. Karena apa selalu desa yang jadi kanibal, walapun kami sering dikatakan desa, kepada desa sebagai ujung tombak pembangunan,” pungkasnya.

Baca Juga :  Jawab Tuntutan Warga Gili Trawangan, Pemprov akan Koordinasi ke ATR

Dalam kesempatan tersebut, FKKD NTB juga menyampaikan surat penolakan terhadap Perpres Nomor 104 Tahun 2021 yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia di Jakarta.

Isi dalam surat tersebut, disampaikan, menindaklanjuti hasil : Pertama, Musyawarah Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Provinsi Nusa Tenggara Barat tanggal 12 Desember 2021 bertempat di Sumbawa Besar yang dalam musyawarah tersebut membahas prihal terbitnya Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Anggaran Pendapatandan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022.

Kedua, Audiensi bersama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 15 Desember 2021.

Bahwa tanpa mengurangi rasa hormat, menolak Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022, karena akan mencidrai Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) yang telah ditetapkan oleh Desa-desa se-Provinsi Nusa Tenggara Barat yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 bahwa batas akhir penetapan RKP Desa adalah pada bulan September sedangkan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022 ditetapakan dan diundangkan pada tanggal 29 November 2021 yang artinya 2 (bulan) terlambat dari batas akhir Penetapan RKP Desa.

Selanjutnya melihat keadaan saat ini bahwa Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022 kami nilai tidak bersifat mendesak serta dalam penyusunannya tidakmempertimbangkan kondisi atau keadaan desa secara menyeluruh karena banyak Desa yang sasaran Keluarga Penerima Manfaat Dana Desa (BLT-DD)nya setelah dikalkulisi tidak bisa mencapai minimal 40 persen sebagaimana diatur dalamPeraturan Presiden tersebut. “Bersama ini kami meminta Bapak Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan dan/atau merevisi Peraturan Presiden tersebut,” tegas Sahril saat membacakan surat yang ditujukan kepada Presiden RI, Jokowi.  (sal)

Komentar Anda