Penyandang cacat kerap dianggap remeh dan mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan. Padahal tidak sedikit penyandang cacat yang berprestasi dan mengharumkan nama daerah dan bangsa Indonesia.
Dalaah–Lombok Barat
Sejarah hidup menjadi pelajaran berharga agar bisa berbuat lebih untuk orang lain. Fitri Nugrahaningrum misalnya, wanita tuna netra ini mampu mendirikan sekolah non formal dengan membuat kurikulum multi integratet. Ia melahirkan kurikulum itu dari perjalanan hidupnya sebagai penyandang cacat.
Fitri pendiri Yayasan FITRAH. Yayasan ini memberikan bekal berupa ilmu dan amal kepada anggotanya. Yayasan FITRAH pada awal berdirinya diperuntukkan untuk memberikan pendidikan pada anak-anak jalanan, kini berkembang dengan memberdayakan ibu-ibu dan para remaja.
Selain proses belajar mengajar, iapun memberikan keterampilan membuat topi,pembuatan songket dan menerima jasa kateringan guna menopang dan menjaga agar yayasannya tetap berjalan.
Awalnya Fitri hanyalah seorang perempuan normal. Namun dunianya mulai berubah sejak ia menderita gangguan penglihatan sehingga menyebabkan kebutaan (simouns jhonsen) pada usia 12 tahun saat dirinya duduk di bangku kelas VI SD.
Ia pun terpaksa harus istirahat sekolah selama dua tahun untuk mendapatkan perawatan. Sayang, penyakit yang dialaminya tidak bisa disembuhkan. Dengan kemauan dan tekad yang kuat, ia pun harus menerima musibah yang menimpanya. Kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan ke Sekolah luar Biasa (SLB) Bandar Lampung guna meraih mimpinya. Pada tiga tahun berikutnya, ia melanjutkan ke SMA umum dan mampu bersaing dengan yang siswa lain. Atas ketekunan dan mental yang kuat, ia berhasil lulus dengan nilai yang baik. Pada 3,5 tahun berhasil meraih gelar S1 kemudian pada 1,5 tahun kembali berhasil meraih gelar S2 magister perkembangan masyarakat di Universitas Sebelas Maret.
Pada tahun 2011, iapun memutuskan untuk hijrah ke Lombok mengikuti suaminya Ahmad Muzaki asal Dusun Karang Bedil Selatan Desa Kediri, Lombok Barat. Setelah dua tahun menikah, Fitri pun ikut mendampingi suaminya ke Kediri, Lombok Barat.
Ia sempat bingung dan gelisah karena tidak punya aktivitas. Sebagai pendidik, dia terpikir akan meneruskan yayasan yang didirikannya di Solo. Apalagi ia banyak mendengar cerita dan melihat kondisi lingkungannya, dimana anak-anak banyak berlaku tidak sopan, tidak kreatif, dan banyak membuang waktu sia-sia. Padahal, lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan pesantren.
Sejak saat itu, muridnya mulai ramai hingga kini berjumlah 238 orang dengan berbagai jenjang usia.
Setelah memiliki banyak murid, ia terbesit untuk membuat nama lembaga pendidikannya. Awalnya, ia membuat Taman Pendidikan Anak (TPA). Karena muridnya terdiri dari berbagai jenjang usia , ia merubahnya menjadi Taman Pendidikan Rakyat (TPR). Namanya taman pendidikan nonformal itu disingkat SAMARA (satelit masa depan negara).
Untuk anak didiknya mulai dari anak sekolah sampai putus sekolah. Anak yang putus sekolah akan diberikan pengembangan kreativitas, dan dicarikan biaya. Sementara anak sekolah akan diberikan pelajaran dan pemahaman di luar sekolahnya. Sehingga ilmu mereka bisa bertambah dan lebih luas. ‘’Itu harapan saya,’’ katanya.
Atas kiprahnya ini, Fitri mendapat penghargaan sebagai salah satu wanita inspiratif tahun 2013 di Indonesia. Tahun 2014, ia juga menerima Hero 2014 dari sebuah televisi swasta nasional.(*)