FITRA Sorot Potensi Penyimpangan Anggaran Covid-19

Ramli Ernanda (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Anggaran penanganan Covid-19 di Provinsi NTB cukup besar. Potensi dugaan penyimpangan dalam pelaksanaannya kini disorot. Terutama anggaran yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi NTB.

Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Ramli Ernanda mengatakan, pihaknya menduga telah terjadi beberapa dugaan penyimpangan. Mulai dari dugaan korupsi hingga politisasi anggaran Covid-19. “Pertama, ada potensi mark-up pada perencanaan pembangunan rumah sakit darurat,” ungkap Ramli.

Rumah Sakit darurat Covid-19, kata Ramli, awalnya hanya dianggarkan Rp 25 miliar. Anggaran tersebut untuk pembangunan dan sarana-prasarana. Namun pada kenyataannya, rumah sakit darurat tersebut menghabiskan Rp 78 miliar. FITRA sendiri mengaku cukup kesulitan melakukan investigasi dan kajian lebih mendalam. Pasalnya, proyek tersebut tidak masuk Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) maupun Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP). “Memang tidak ditender karena situasi darurat. BPK harus berikan perhatian khusus terhadap proyek ini,” ucap Ramli.
Apabila Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan perhatian atas proyek tersebut, maka akan diketahui nilai kewajarannya berdasarkan hasil audit. “Indikasi ini sebenarnya masih sangat prematur, karena keterbatasan dokumen pendukung. Makanya setidaknya BPK memasukkan jadi salah satu objek audit untuk menilai kewajaran,” harapnya.
Anggaran penanganan Covid-19 memang cukup besar. Catatan Radar Lombok, total anggaran penanganan pandemi Covid-19 dari hasil realokasi dan refocusing pada semua organisasi perangkat daerah (OPD) sebesar Rp 926,96 miliar.
Dana sebesar Rp 926,96 miliar tersebut, dialokasikan pada pos belanja tidak terduga (BTT) mencapai Rp 302,98 miliar. Kemudian pada pos belanja langsung OPD sebesar Rp 623 miliar. BTT dialokasikan untuk penanganan kesehatan masyarakat sebesar Rp 170,48 miliar. Selanjutnya untuk penanganan dampak ekonomi dianggarkan sebesar Rp 1,8 miliar.
Dugaan penyimpangan kedua, lanjut Ramli, terjadi potensi inefesiensi dan pemborosan pengadaan item Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang. “Karena harga yang digunakan Pemprov jauh di atas harga pasaran,” katanya.
Alasan Pemprov NTB yang sering disampaikan Gubernur Zulkieflimansyah, perbedaan harga tersebut harus dimaklumi. Mengingat, produk lokal memang belum bisa bersaing dari segi harga. “Tapi nyatanya di bawah, vendor yang berkontrak membeli dengan harga pasaran,” beber Ramli.
Tidak berhenti disitu, bantuan yang disalurkan juga banyak tidak layak. Hal itu terjadi sejak JPS Gemilang tahap pertama, yang saat itu banyak ditemukan telur busuk. Belum lagi masalah pengadaan item ikan yang sempat ditangani Aparat Penegak Hukum (APH). Namun belakangan diserahkan ke Inspektorat. “Temuan lapangan juga menemukan adanya item ikan yang tidak layak konsumsi,” tuturnya.
Berikutnya, anggaran penanganan Covid-19 Provinsi NTB juga diduga dipolitisasi. Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. “Potensi politisasi bantuan pemulihan ekonomi yang nilainya Rp 300 miliar lebih. Ini musim pilkada. Dan kita tahu ada paslon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat,” ujar Ramli.
Dikatakan, arah kebijakan penanganan dampak ekonomi tersebut berupa pemberian peralatan, mesin, bibit, benih pakan dan lain-lain. Namun sampai saat ini, tidak ada informasi bagaimana mengakses bantuan tersebut. “Bagaimana penyalurannya juga tidak jelas,” katanya.
Oleh karena itu, FITRA mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencermati dugaan tersebut. “Bawaslu saya pikir penting untuk memantau. Karena banyak sekali kasus di beberapa daerah, bantuan pemerintah dikasi label foto paslon atau disalurkan oleh Timses,” ungkapnya.
Terkait dengan anggaran pembangunan rumah sakit darurat, Radar Lombok sudah berupaya meminta klarifikasi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr Nurhandini Eka Dewi. Namun, Eka belum mau memberikan tanggapan. Begitu pula dengan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan item JPS Gemilang seperti ikan. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB, Yusron Hadi belum memberikan bantahan. (zwr)

Komentar Anda