Eksistensi Kesenian Musik Kelentang yang Terus Tergerus Zaman

Ciptakan Kedamaian, Tetap Bertahan dengan Berbagai Terpaan

Eksistensi Kesenian Musik Kelentang yang Terus Tergerus Zaman
DIMAINKAN: Para pemain kesenian musik kelentang Sangkarmas asal Kampung Serenget Kelurahan Praya saat meghibur para penonton di kegiatan Mandalika Expo, Jumat malam lalu. (M Haeruddin/Radar Lombok)

Kesenian musik Kelentang Sangkarmas asal Kampung Serenget Kelurahan Praya, tetap membuktikan eksistensinya kendati saat ini musik tersebut sangat jarang terdengar. Karena tekad dari para personel membuat kesenian tersebut tetap eksis dan tidak tergerus oleh zaman.


M Haeruddin-Praya


KESENIAN musik kelentang booming tahun 1960-an. Grup musikyang dimainkan 35 personel ini sangat dinanti-nanti untuk ditinton dalam acata adat atau kenduri tahun itu. Empat dasawarsa sudah masa keemasan dan kejayaan musik ini berlalu dari mata dan telinga masyarakat, utama para pengagumnya.

Selama kurun waktu itu, berduyun-duyun alat musik modern maupun lokal mendampinginya sebagai pesaing berat. Tak heran, jika kemudian eksistensinya mulai terkikis. Terutama generasi muda sejak tahun 1990-an yang lebih condong kepada musik modern.

Namun, hal itu tidak membuat kesenian Kelentang Sangkarmas asal Kampung Serengat tersebut putus harapan. Para personelnya bisa membuktikan eksistensi musik tradisional tersebut tetap utuh meskipun banyaknya alat musik yang lebih modern. ‘’Ini sebagai wujud untuk bagaimana mempertahankan musik tradisional kita ditengah banyaknya musik modern,” ungkap Farozi Hasni selaku pembina musik kelentang tersebut saat ditemui Radar Lombok, kemarin.

Baca Juga :  Mengukur Kesiagaan Masyarakat Lombok Barat Menghadapi Bencana

Musik kelentang itu sendiri memiliki berbagai macam jenis alat seperti saron, gontengan, petuk, rincik, gendang, curing, gong, dan seruling. Masing-masing alat tersebut dimainkan dengan dibantu lantunan lagu-lagu cilokak yang merupakan khas sasak. “Ini yang memainkanya adalah orang-orang tua yang sudah sesepuh dan kita akan usahakan agar para pemuda juga meminati musik asli Sasak ini,” tammbahnya.

Farozi menjelaskan, musik kelentang tersebut dulunya sangat-sangat diminati oleh masyarakat, terutama untuk nyongkolan (mengiringi pengantin). Dalam menggunakan musik tradisional tersebut saat nnyongkolan itu menimbulkan rasa kedamaian. Beda halnya saat ini di mana nyongkolan sering dijadikan sebagai ajang perkelahian semenjak tidak menggunakan kelentang lagi. “Dulu malah kalau kita nyongkolan kalau kita berhenti nabuh malah masyarakat menyuruh kita menabuh lagi dan tidak ada yang bertengkar. Karena musiknya menyejukan dan membawa kedamaian dan ini kita peromosikan lagi agar kedepan bisa kembali eksis di tengah kerasnya arus modernisasi,” cetusnya.

Ia mengakui, saat ini kesenian tersebut sudah mulai bangkit kembali. Dalam seminggu selalu ada undangan untuk kegiatan masyarakat. Untuk sekali sewa bisa mencapai Rp 2 juta. ‘’Alhamdulilah saat ini musik ini kembali bangkit, masyarakat sangat banyak yang meminatinya terutama untuk kegiatan nnyongkolan. Karena kalau menggunakan musik kelentang tidak pernah ada ceritanya ribut,” ujarnya.

Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah generasi penerus dari kesenian tersebut. Terlebih saat ini para pemain dari musik itu juga sudah banyak yang tua. Sementara, minat generasi muda saat ini masih lebih banyak yang suka dengan musik band dan kecimol. ‘’Pemainya bahkan sudah banyak yang meninggal dan digantikan oleh keluarga dekat yang memang sangat peduli dengan kearifan lokal,” bebernya.

Baca Juga :  Mengenal Khairul Mahfuz, Penggiat Pesantren Digital Indonesia

Kini musik kelentang tersebut diharapkan bisa menjadi sebuah solusi dari banyaknya terpaan musik modern yang membuat tergerusnya nilai dan norma yang berlaku didalam masyarakat. Kini, mereka juga berharap agar kesenian tersebut bisa eksis kembali seperti dulu yang sangat dinanti- nanti oleh masyarakat. ‘’Kini sudah mulai diminati lagi dan kami berharap kedepan lebih eksis lagi seperti pada eranya dulu,” tambahnya. (**)

Komentar Anda