MATARAM – Wilayah perairan Teluk Jukung di Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur, pernah menjadi kawasan rawan aksi destructive fishing, khususnya pengeboman ikan. Namun, berkat peran aktif masyarakat setempat dalam menerapkan sanksi sosial, kasus ini berangsur menurun.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Lombok Timur Dedi Sopian mengungkapkan bahwa nelayan yang tertangkap melakukan destructive fishing di Teluk Jukung akan menghadapi sanksi berat dari masyarakat.
“Biasanya, perahu atau sampannya dibakar sebagai hukuman. Langkah ini sangat efektif untuk memberi efek jera,” ujar Dedi kepada Radar Lombok, kemarin.
Selain sanksi sosial, Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) aktif mengawasi aktivitas nelayan di sejumlah titik rawan. Setiap desa di Lombok Timur memiliki awik-awik atau aturan adat yang mengatur tata kelola laut. Pelaku yang tertangkap akan dihukum dengan pembakaran perahu dan diserahkan kepada pihak berwajib.
Namun, Dedi mengakui masih ada tantangan. “Ketika tidak diawasi, ada saja yang melakukan pelanggaran. Terutama pelaku dari luar daerah yang menggunakan bahan berbahaya seperti potasium,” katanya.
Menurutnya destructive fishing tidak hanya menghancurkan ekosistem laut seperti terumbu karang, tetapi juga merugikan pendapatan nelayan tradisional. Kerusakan ekosistem membuat hasil tangkapan nelayan yang mematuhi aturan menurun drastis.
“Nelayan sekarang sadar bahwa pengeboman ikan merusak laut dan mengurangi hasil tangkapan. Bahkan nelayan senior menganggap penggunaan potasium sebagai ancaman paling besar,” tambah Dedi.
Sanksi sosial juga memicu potensi konflik antarwarga. Misalnya, ketika pelaku berasal dari satu desa, sementara pelaksanaan hukuman dilakukan oleh warga desa lain. “Terkadang ada ketegangan antarwarga. Tapi biasanya konflik ini bisa mereda dalam satu atau dua hari,” ungkap Dedi.
Dedi menyarankan pemerintah untuk memperkuat peran Pokmaswas di setiap desa pesisir. “Setiap desa harus memiliki satu Pokmaswas dengan dukungan perahu patroli dan alat pengawasan. Jangan sampai perahu yang diberikan pemerintah malah dialihfungsikan untuk kegiatan wisata,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi pola kerja patroli Kepolisian Air dan Udara (Polairud). Pasalnya Polairud sering kali hanya turun setelah kejadian. “Padahal patroli rutin dan sosialisasi kepada masyarakat sangat diperlukan agar nelayan lebih sadar akan dampak destruktif dari pengeboman ikan,” jelasnya.
Berdasarkan pengalaman Dedi, menunjukkan bahwa sanksi sosial lebih efektif dibanding hukuman formal. Menurutnya, pelaku yang dipenjara sering kali kembali mengulangi aksi mereka. Namun, tekanan sosial dari komunitas lokal berhasil mencegah hal tersebut.
“Sosial dan adat sangat ampuh menciptakan efek jera. Dengan kesadaran kolektif ini, kawasan seperti Tanjung Luar dan Teluk Pitung menjadi lebih steril dari aksi destructive fishing,” tutupnya. (rat).