Dua Terdakwa Kasus Korupsi KUR Rp 29,6 Miliar Mulai Disidangkan

SIDANG : Sidang perdana korupsi penyaluran bantuan KUR tani, bertempat di ruang sidang PN Tipikor Mataram. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Kasus korupsi penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) di Lombok Timur dan Lombok Tengah tahun 2020-2021 dengan terdakwa Lalu Irham Rafiuddin Anum dan Amiruddin, mulai disidangkan.

Kedua terdakwa menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan Selasa (21/2) kemarin, di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram.

Dalam dakwaan yang dibacakan Fajar Alamsyah Malo selaku perwakilan jaksa penuntut umum, Lalu Irham dikatakan telah memalsukan semua tanda tangan petani yang menjadi penerima bantuan KUR tersebut. Totalnya 789 petani.

“Tanda tangan petani dipalsukan melalui Staf Administrasi CV Agro Biobribet dan Briket (CV ABB) atas nama Halmiatus Sya’ban,” kata Fajar di persidangan didampingi I Komang Prasetya.

Selain itu, Lalu Irham memblokir rekening para penerima yang ada di Lombok Timur sebanyak 779 orang. Sementara, uang KUR sudah masuk. Akibatnya, para petani tidak bisa melakukan penarikan dana. “Buku rekening dan kartu ATM para penerima juga tidak diberikan, sehingga para petani tidak mengetahui adanya pencairan,” ungkap dia.

Kemudian, untuk memastikan penguasaan terhadap dana KUR 799 orang tersebut, Lalu Irham membuat surat yang seolah-olah perusahaan PT Mitra Universal Group (MUG) milik terdakwa ditunjuk sebagai distributor oleh CV ABB sesuai surat penunjukan distributor Nomor: ABB-081/S.Pen/MUG/I/2021 tertanggal 11 Januari 2021. “Padahal sejatinya PT MUG sendiri bukan perusahaan yang menjalankan usaha dalam bidang distribusi sarana prasarana produksi pertanian (saprotan),” sebutnya.

Untuk lebih meyakinkan, dibuatkan bukti yang seolah-olah PT MUG telah menyerahkan saprotan yang dibutuhkan oleh para penerima KUR. Atas perintah terdakwa, kemudian Halmiatus Sya’ban membuat Berita Acara Serah Terima (BAST). “BAST itu berisi pernyataan serah terima barang sarpotan dari terdakwa, selaku Direktur PT MUG. Saprotan yang diserahterimakan sesuai BAST itu, disesuaikan dengan luas lahan dengan permohonan KUR yang disetujui oleh BNI Cabang Mataram,” katanya.

Selanjutnya BAST itu ditandatangi oleh terdakwa. Sedangkan untuk tanda tangan para penerima KUR dipalsukan oleh Halmiatus Sya’ban, dengan cara meniru tanda tangan petani yang ada pata fotokopi KTP masing-masing para penerima.

“Begitu juga dengan tanda tangan Direktur CV ABB dan para kepala desa yang ikut bertanda tangan di BAST itu. Tanda tangan ini di-scan atas perintah terdakwa,” ujarnya.

Tanggal pembuatan BAST itu juga dibuat mundur. Yaitu pada 16, 20, 23, dan 26 November 2020 atau lebih dahulu dibandingkan dengan penunjukan PT MUG selaku distributor, yakni pada 11 Januari 2021.

Untuk dapat dilakukan pemindahbukuan dana dari rekening para penerima bantuan ke rekening yang dapat dikendalikan oleh terdakwa, dengan dalih untuk pembayaran benih dan saprotan, maka dibuat suatu mekanisme di mana PT MUG selaku distributor mengajukan surat permohonan pembayaran benih dan saprotan yang ditujukan kepada CV ABB. “Lalu atas dasar itu, CV ABB mengajukan permohonan kepada BNI Cabang Mataram untuk dilakukan debet rekening atau pemindahbukuan dana, dari rekening para penerima kepada rekening PT MUG,” bebernya.

Permohonan pencairan dana benih dan saprotan dari PT MUG kepada CV ABB terhitung 6 kali pengajuan. Per tanggal 11 Januari 2021, PT MUG meminta kepada CV ABB untuk mencairkan dana benih dan saprotan dari 312 petani, dengan realisasi tahap satu sebesar Rp 5,4 miliar lebih. Dan realisasi tahap kedua sebesar Rp 3,8 miliar.

Baca Juga :  Raibnya Pasal di Perda Perkawinan Anak Dipertanyakan

Per 29 Januari 2021 dengan mencairkan dana 12 penerima. Realisasi tahap pertama Rp 190 juta dan tahap kedua Rp 137 juta. Tanggal 22 Februari 2022, mencairkan dana sebanyak 258 penerima. Dengan realisasi tahap pertama Rp 5,3 miliar dan realisasi tahap kedua Rp 3,7 miliar.

Pada 1 Maret 2021, kembali mencairkan dana sebanyak 107 penerima dengan realisasi tahap pertama Rp 1,8 miliar, dan realisasi tahap kedua Rp 1,2 miliar. Pada 22 Maret 2021, mencairkan dana 10 penerima dengan realisasi tahap pertama Rp 172 juta dan realisasi tahap kedua Rp 120 juta. Dan terakhir pada 25 Maret 2021, mencairkan dana 90 penerima. Realisasi tahap pertama Rp 1,9 miliar dan realisasi tahap kedua Rp 1,3 miliar.

Dari dakwaan yang dibacakan jaksa, seluruh uang yang dicairkan terdakwa kemudian digunakan dalam bebagai hal dan ditransfer ke sejumlah orang. Di antaranya untuk keperluan diri sendiri. Lalu Irham menggunakannya untuk melakukan pembayaran angsuran mobil pribadinya merek Toyota Innova Venturer DR 1418 BJ sebesar Rp 20 juta, per 29 Januari 2021.

Kemudian pada 9 Februari 2021, terdakwa kembali memerintahkan bendahara sekaligus komisaris CV ABB Baiq Dian Sasmita Yuliana melakukan penarikan secara tunai dengan cek Rp 564 juta lebih. Uang itu, digunakan untuk pembayaran pelunasan pembayaran uang muka berupa 3 truk dan 1 mobil pickup L300 milik Lalu Irham sebesar Rp 464 juta.

“Pada tanggal 16 februari, M Herdian Hidayat ditransferkan uang oleh Baiq Dian Sasmita atas perintah terdakwa sebesar Rp 102 juta untuk pembayaran pelunasan Mobil Innova itu,” kata Fajar.

Sedangkan untuk terdakwa Amiruddin, perannya terungkap turut serta melancarkan aksi yang dilakukan terdakwa Lalu Irham. Bahwa, meskipun terdakwa mengetahui CV ABB tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam aturan internal BNI sebagai agen perantara yang tidak memiliki kemitraan dengan petani, tetapi Amiruddin sebagai Kacab BNI Mataram tetap menyetujui CV ABB sebagai agen perantara untuk penyaluran KUR.

Dalam uraian dakwaan, jaksa pun menyampaikan bahwa terdakwa Amiruddin menyetujui CV ABB sebagai agen perantara penyaluran dana KUR berdasarkan adanya rekomendasi dari PT Sumba Moelti Agriculture (SMA) yang ditandatangani langsung oleh Direktur Joanina Rachma Novinda. “Supaya lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan operasional dan administrasinya, maka PT SMA merekomendasikan CV ABB melakukan kerja sama secara langsung dengan PT BNI Cabang Mataram sesuai surat rekomendasi yang ditandatangani oleh saksi Joanina Rachma Novinda selaku Direktur PT SMA,” ujarnya.

Selain mendapatkan rekomendasi dari PT SMA, ungkap Fajar, CV ABB juga mendapatkan rekomendasi dari Ketua DPD HKTI NTB Rumaksi yang juga kini masih aktif menduduki jabatan sebagai Wakil Bupati Lombok Timur, serta rekomendasi dari Sekretaris DPD HKTI NTB Iwan Setiawan.

Berbekal rekomendasi dari PT SMA dan HKTI NTB, Amiruddin memerintahkan Petugas Penyelia Pemasaran PT BNI Cabang Mataram Heri Prabowo menerbitkan memo yang menyatakan CV ABB layak sebagai agen perantara yang mengelola dan memberikan rekomendasi atas permohonan KUR dari kalangan petani di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah.

Tindak lanjut dari adanya penerbitan memo tersebut, terdakwa Amiruddin sebagai Kepala PT BNI Cabang Mataram melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Direktur CV ABB M. Herdian Hidayat.

Baca Juga :  Polri dan Lima Polda Bantu Amankan MotoGP

Dalam naskah PKS, tertulis dibuat pada 27 November 2020. Namun nyatanya, PKS tersebut dibuat dan ditandatangani pada 8 Januari 2021. Begitu juga dengan penerbitan memo yang dibuat pada Januari 2021. “Bahwa penanggalan dokumen PKS dan memo tersebut dibuat tertanggal mundur atas perintah terdakwa Amiruddin untuk memenuhi syarat administrasi kerja sama antara PT BNI Cabang Mataram dengan CV ABB,” katanya.

Secara formal, terdakwa Amiruddin seharusnya bekerja sama dalam penyaluran dana KUR dengan M. Herdian Hidayat sebagai Direktur CV ABB. Namun, dalam pelaksanaan yang berhubungan dengan kerja sama tersebut, terdakwa Amiruddin melaksanakan kegiatan dengan Lalu Irham yang juga menjadi terdakwa dalam perkara ini. “Lalu Irham yang secara formal memang tidak ada kaitannya dengan perjanjian kerja sama dimaksud. Namun, Lalu Irham adalah pemilik sebenarnya dari CV ABB. Sementara itu, M. Herdian Hidayat hanya karyawan yang diangkat dan digaji oleh terdakwa Lalu Irham,” katanya.

Tindak lanjut dari PKS itu pun, terdakwa Amiruddin menyerahkan data petani di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah dengan jumlah 1.340 orang ke para analis untuk melakukan verifikasi lapangan.

Data itu pun terungkap berasal dari Lalu Irham melalui rekomendasi CV ABB. Dalam proses verifikasi, terungkap CV ABB tidak memiliki sistem plotting GPS. PT BNI Cabang Mataram juga tidak ada kerja sama dengan kantor wilayah dinas pertanian. Menurut aturan, dua hal tersebut menjadi syarat penyaluran dana KUR. “Karena mengetahui tidak ada kelengkapan syarat tersebut, terdakwa Amiruddin memerintahkan para analis untuk tidak turun lapangan,” ucapnya.

Meskipun demikian, permohonan KUR tetap diproses dan disetujui terdakwa Amiruddin yang ditindaklanjuti dalam bentuk perjanjian kredit dan pencairan. Data yang digunakan PT BNI Cabang Mataram tersebut berdasarkan data petani dari CV ABB.

Sesuai kesepakatan antara Amiruddin dengan Lalu Irham, pencairan KUR diberikan dalam bentuk saprotan dengan syarat pemblokiran rekening debitur. “Dengan kesepakatan itu, Amiruddin menerbitkan dan menandatangani surat persetujuan kredit dan perjanjian kredit serta realisasi KUR untuk 789 debitur dari kalangan petani. Total penyaluran mencapai Rp 29,95 miliar,” tuturnya.

Dalam rincian, 779 debitur berasal dari kalangan petani di Desa Pemongkong, Desa Sekaroh, Desa Serewe, Desa Ekas Buana dan Desa Kwang Rundun di Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur dengan nilai KUR Rp 29,6 miliar.

Kemudian, 10 debitur dari kalangan petani di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah dengan KUR senilai Rp 345 juta. Dengan demikian, jaksa menyatakan perbuatan terdakwa Amiruddin dan Lalu Irham merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak sesuai ketentuan.

Sehingga keduanya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Bahwa Amiruddin bersama-sama dengan Lalu Irham, telah melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain dan/atau korporasi sehingga menimbulkan kerugian negara berdasarkan hasil hitung BPKP NTB senilai Rp 29,6 miliar,” pungkasnya. (cr-sid)

Komentar Anda