DPRD Seharusnya Malu

Dwi Arie Santo (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK )

MATARAM – Pembahasan draf Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD tahun 2021 masih alot. Bukan untuk memastikan berbagai program pembangunan bisa tercapai, namun karena sibuk tentang dana aspirasi atau pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD NTB. 

Sikap Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tersebut dicemooh oleh banyak pihak. “DPRD ini seharusnya malu sedikit sama masyarakat. Bahas draf KUA-PPAS jangan cuma mencari tambahan pokir,” sindir Ketua Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB, Dwi Arie Santo kepada Radar Lombok, Kamis (12/11).

Pembahasan KUA-PPAS APBD sangat penting. Mengingat, setelah KUA-PPAS ditandatangani, tidak banyak hal yang bisa diubah. Berbeda halnya dengan tahun-tahun lalu, setelah KUA-PPAS, masih banyak ruang untuk melakukan perubahan, mulai dari pembahasan rancangan KUA-PPAS oleh Banggar hingga di tingkat komisi-komisi. 

Menurut Dwi, peran DPRD seharusnya memastikan APBD bisa memenuhi target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Bukan malah ribut seberapa banyak mendapatkan pokir. Malu dikit lah dengan masyarakat yang sudah berbulan-bulan menghadapai situasi pandemi Covid-19 yang tidak menentu kapan akan berakhir,” ucapnya. 

Menurut Dwi, pendapatan daerah tidak bisa dianggap remeh. Banggar seharusnya mempersoalkan secara serius masalah tersebut. Kemudian memikirkan solusi untuk bisa meningkatkan pendapatan. Besaran pendapatan APBD 2021, diproyeksi sekitar Rp 5,260 triliun. Jumlah tersebut jauh menurun dibandingkan pendapatan APBD 2020 yang mencapai 5,671 triliun. Bahkan masih lebih rendah dibandingkan APBD Perubahan tahun 2020 yang nilainya Rp 5,332 triliun. “Harus lebih fokus mempersoalkan kenapa Pemda pendapatanya bisa turun, dan membantu memikirkan strategi kebijakannya serta tetap melakukan kontrol dalam implementasinya. Itu tugas DPRD,” tegas Dwi. 

Lembaga DPRD, lanjutnya, bukan eksekutif yang mengeksekusi program. Termasuk masalah Pokir, pada akhirnya nanti yang mengeksekusi adalah organisasi perangkat daerah (OPD).

Somasi kini mempertanyakan efektivitas program pokir yang selalu diributkan setiap tahun. Apalagi selama ini alasan pokir selalu disebut sebagai bagian dari implementasi aspirasi yang sudah digali oleh wakil rakyat pada tingkat konstituen. “Persoalannya, seberapa besar dampak pokir selama ini yang sudah mereka programkan dan implementasikan,” tanya Dwi. 

Kepada pihak eksekutif, Dwi mengingatkan agar tidak lagi tersandera drama para wakil rakyat yang sudah basi. “Eksekutif jangan terus-terusan tersandera dengan drama-drama pembahasan APBD yang setiap tahun masalahnya selalu seperti ini. Fokus lah pada penanganan Covid-19 untuk tahun ini dan kedepan,” sarannya. 

Eksekutif harus ingat, kesehatan masyarakat sangat penting. Pencapaian program-program yang tertuang dalam RPJMD harus diutamakan. “Partisipasi masyarakat dalam pembahasan KUA-PPAS juga sangat minim. Seharusnya bangun mekanisme partisipasi yang luas melibatkan masyarakat dari segala lapisan,” kata Dwi Arie. 

Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA) NTB, Ramli Ernanda juga mencemooh sikap para wakil rakyat. “Kalau yang dibahas cuma Pokir, ini yang bikin kualitas pembahasan APBD kita buruk. Besok kalau target pembangunan tidak tercapai, mereka teriaki eksekutif,” sentilnya. 

FITRA menilai, ada salah kaprah sejauh ini tentang Pokir. Para wakil rakyat lupa, bahwa Pokir pada dasarnya salah satu jalur penyerapan aspirasi untuk perencanaan APBD. Sikap ngotot DPRD yang ingin anggaran Pokir dinaikkan, bahkan menyalahi sistem perencanaan pembangunan. Dampaknya, bisa membuat penggunaan anggaran yang terbatas menjadi tidak efektif. “Jadi tidak perlu ada pemaksaan untuk penjatahan. Sistem penjatahan anggaran pokir tidak ada dalam sistem perencanaan kita. Harusnya didasarkan pada skala prioritas, relevansi dengan visi-misi dan kewenangan daerah,” jelasnya. 

Oleh karena itu, apabila pokir tidak relevan dengan pencapaian visi-misi, tidak memberikan daya ungkit terhadap ekonomi yang lesu seperti saat ini, maka eksekutif tidak harus mengikuti keinginan DPRD. “Jangan dipaksakan karena harus penuhi jatah pokir masing-masing anggota. Kalau DPRD ngotot nambah, berarti ada program-program yang sudah dirancang eksekutif berdasarkan prioritas tahun ini harus dipangkas. Kan sayang sekali,” ujar Ramli. 

Hal penting lainnya yang harus dipahami, batas penetapan APBD 2021 tanggal 30 November. Saat ini waktunya sudah mepet. “Harusnya mulai libatkan publik di pembahasan KUA-PPAS dan RAPBD. Jangan sampai seperti kemarin. Dokumen tidak dibuka ke publik, pembahasan mepet. Tiba-tiba muncul kegiatan yang tidak ada dalam Renstra dan Renja,” ucapnya. 

Keterlibatan publik sangat penting, sehingga Banggar juga tidak hanya fokus mengurus kenaikan Pokir. “Harusnya yang dipelototi, apakah draf KUA-PPAS sinkron dengan RPJMD dan RKPD. Apakah asumsi makro dan proyeksi penerimaan daerah sudah terukur. Apakah pengalokasian anggaran yang terbatas di masa pandemi ini sudah dialokasikan secara tepat dan efektif. Itu yang harus getol dibahas. Ini ndak bisa asal paksa usulan soal Pokir saja. Makanya penting adanya partisipasi publik,” ujar Ramli. 

Sementara itu, pimpinan Banggar DPRD NTB masih belum menunjukkan iktikad baiknya untuk mengalah. DPRD masih ngotot agar jatah Pokir yang hanya Rp 162,5 miliar dinaikkan. (zwr) 

Komentar Anda