MATARAM — Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini menangani 68 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang melibatkan 120 tersangka. Kasus-kasus tersebut, merupakan laporan yang diterima dari tahun 2023 hingga saat ini.
Kepala Disnakertrans NTB, I Gede Putu Aryadi, mengatakan pihaknya berperan sebagai saksi ahli dalam berbagai proses persidangan terkait TPPO. “Kasus ini berlanjut, dan kami sebagai saksi ahli di persidangan. Kami memberikan keterangan sesuai dengan kewenangan Disnakertrans,” ujar Aryadi, Senin (4/11).
Jumlah laporan terkait TPPO yang diterima sebenarnya mencapai 800 kasus. Namun menurut Aryadi, tidak semua laporan bisa langsung ditindaklanjuti, dan perlu proses klarifikasi. Laporan-laporan tersebut, diperoleh dari berbagai saluran, termasuk media sosial. “Memang banyak laporan yang masuk, tetapi perlu diverifikasi, karena harus terbukti bahwa memang itu korban TPPO,” jelasnya.
Beberapa perusahaan telah menjadi sorotan dalam kasus TPPO ini, termasuk Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) dan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang beroperasi tanpa izin resmi, untuk merekrut tenaga kerja.
Kasus terbaru yang melibatkan PT Mahesa Putra Tunggal, telah berakhir dengan vonis pidana bagi lima terdakwa, yaitu Bagus Sumantri 7 tahun, Bukri 6 tahun, Rislah 6 tahun, Muhammad Satar alias Satar 6 tahun, dan Muksin 6 tahun.
Disnakertrans NTB bekerja sama dengan Polda NTB dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk menangani kasus-kasus TPPO. Karena modus TPPO yang melibatkan perekrutan tenaga kerja, pihak berwenang menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Modus perekrutan nonprosedural terbukti sering digunakan, sehingga ahli dari Disnakertrans dan BP2MI dilibatkan dalam proses pembuktian. “Kami menemukan banyak modus rekrutmen nonprosedural. Karena itu, Aparat Penegak Hukum (APH) lebih sering meminta bantuan saksi ahli dari Disnakertrans dan BP2MI,” ujar Aryadi.
Aryadi menyebutkan bahwa dari 68 kasus yang tengah ditangani, beberapa kasus telah selesai, dengan 12 orang dinyatakan bersalah dan telah dijatuhi hukuman. Sebagian besar terpidana adalah Tekong (penghubung pekerja), perusahaan, dan LPK yang terlibat dalam kegiatan perekrutan tanpa izin.
“Disnakertrans NTB juga sedang melakukan pengusutan terhadap LPK yang mengantongi izin pelatihan, namun terlibat dalam rekrutmen tenaga kerja. Dimana menurut peraturan tidak diperbolehkan,” tambahnya.
Terkait kerugian korban, Disnakertrans NTB berupaya mengembalikan sebagian kerugian finansial yang dialami. Aryadi mengungkapkan bahwa dana deposito sebesar Rp 1,5 miliar dari pihak perekrut telah dicairkan sebagai ganti rugi bagi korban yang direkrut secara nonprosedural.
Namun dana yang telah dicairkan hanya sebagian kecil dari jumlah tersebut. “Sudah ada beberapa perusahaan yang mencairkan dana, meskipun jumlahnya baru beberapa persen saja,” ungkap Aryadi.
Aryadi juga mengingatkan LPK agar mematuhi aturan yang ada. Meski memiliki izin pelatihan, LPK tidak diperbolehkan melakukan perekrutan tenaga kerja. Disnakertrans NTB akan terus mengawasi aktivitas LPK di NTB, dan memberikan peringatan serta pembinaan bagi yang melanggar.
Terhadap peningkatan kasus TPPO, Disnakertrans NTB berharap semua pihak, termasuk masyarakat, lebih berhati-hati terhadap tawaran kerja dari pihak yang tidak memiliki izin resmi. Disnakertrans juga berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah TPPO di NTB.
“Kalau sudah ada pembinaan, namun masih saja terjadi pelanggaran, maka kami akan lakukan penegakan hukum,” tegas Aryadi. (rat)