Disebut Oknum, Ketua Fraksi Dewan Murka

Daeng Hamja (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM—Pernyataan Wakil Ketua DPRD NTB, TGH Mahalli Fikri berbuntut panjang, karena menyebut anggota dewan yang mengkritisi penjualan aset di Bandara Internasional Lombok (BIL) merupakan oknum. Mengingat Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD tahun 2017 telah ditandatangani sejak Jum'at lalu (11/11).

Beberapa anggota DPRD NTB yang lantang mengkritisi penjualan saham diantaranya Ketua Fraksi Gerindra, Daeng Hamja, dan Sekretaris Fraksi PDI-P, Made Slamet. "Apa maksudnya saya disebut oknum. Terserah saya dong, mau setuju atau tidak. Saya ini Ketua Fraksi, saya juga berhak berbicara," ujar Ketua Fraksi Gerindra, Daeng Hamja kepada Radar Lombok, Rabu kemarin (16/11).

Menurut Hamja, sangat tidak pantas seorang pimpinan dewan menyebut anggota DPRD sebagai oknum. Apalagi jabatannya adalah Ketua Fraksi, hanya karena menolak penjualan aset di BIL. Pernyataan pimpinan dewan tersebut sama artinya mengekang demokrasi dan hak berbicara seorang wakil rakyat.

Dikatakan, pimpinan dewan haruslah memiliki etika dalam berbicara. Sebutan oknum sangat tidak layak keluar dari seorang TGH Mahalli Fikri, yang seharusnya menjadi panutan anggota dewan lainnya. "Siapa dia yang larang-larang saya bicara menolak penjualan asset. Saya ini ketua fraksi lho. Saya tidak setuju aset kita dijual, apapun alasannya," tegas Hamja.

Hamja juga mempertanyakan pernyataan TGH Mahalli Fikri yang menyebut anggota Fraksi Gerindra di Badan Anggaran (Banggar), telah setuju dengan penjualan aset di BIL. "Siapa anggota saya itu, kalau dia tidak patuh dengan saya, silahkan dia cari fraksi lain dan keluar dari Fraksi Gerindra," kata Hamja murka.

Baca Juga :  Eksekutif Tanggapi Enam Raperda Inisiatif Dewan

Bagi Hamja, meskipun nilai penjualan aset telah dimasukkan dalam KUA-PPAS, dirinya tetap tidak setuju. Penjualan aset haruslah terlebih dahulu melalui persetujuan DPRD, setidaknya jika tanpa paripurna haruslah ada rapat pimpinan DPRD yang melibatkan pimpinan fraksi, komisi dan pimpinan DPRD.

Persoalannya lanjut Hamja, sampai detik ini tidak pernah ada rapat pimpinan untuk memberikan persetujuan terhadap penjualan aset. "Pimpinan dewan harus sadar kalau ngomong, kok saya dianggap oknum. Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja," ujarnya lantang.

Karena itu, Hamja akan segera melakukan rapat internal menanggapi pernyataan pimpinan dewan dari fraksi Demokrat atas nama TGH Mahalli Fikri. Tidak menutup kemungkinan, masalah ini akan dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) karena telah melanggar kode etik dan melakukan penistaan terhadap ketua fraksi. “Bisa saja akan saya laporkan ke BK, agar ini jadi peringatan dan tidak diulangi lagi,” kata Hamja.

Kemarahan serupa juga ditunjukkan oleh Sekretaris fraksi PDI-P, Made Slamet yang dikenal paling lantang menyuarakan penolakan. Ia menilai pimpinan dewan telah mengekang demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Baca Juga :  Dewan Minta Pemkab Bayar Lahan SMPN 2 Gunung Sari

Selain itu, Made juga mempertanyakan alasan TGH Mahalli melarang dirinya berbicara atas nama fraksi. “Saya kan memang sekretaris fraksi, saya bicara bukan atas nama oknum. Ketua fraksi saya saja tidak larang kok saya bawa nama fraksi, kok dia malah tidak membolehkan,” kesalnya.

Made sendiri tidak akan membawa persoalan ini ke BK, pasalnya di mata Made masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh BK. Made hanya berharap kepada TGH Mahalli agar tidak lagi mengulangi kecerobohannya menyebut kata oknum dan melarang dirinya berbicara atas nama fraksi.

Sementara itu, TGH Mahalli Fikri sendiri saat ditemui di ruangannya sedang tidak ada di tempat. Namun politisi Demokrat itu sebenarnya tidak pernah menyebut nama anggota DPRD. TGH Mahalli hanya mengatakan oknum dewan yang mengkritisi penjualan aset di BIL itu lucu, karena sudah dimasukkan dalam KUA-PPAS.

Wakil Ketua DPRD NTB dari Partai Gerindra, Mori Hanafi tidak ingin ikut campur dalam masalah tersebut. Mori hanya menyampaikan, bahwa berdasarkan hasil konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), penjualan aset yang berupa barang tidak perlu mendapatkan persetujuan DPRD. “Istilahnya hanya permakluman atau pemberitahuan oleh Gubernur ke DPRD, kalau persetujuan sih tidak harus,” terangnya. (zwr)

Komentar Anda