
MATARAM — Direktur PT Sino Indo Mutiara, Melliana Dewi, melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditpolairud Polda NTB, pada 10 Februari 2025 lalu. Melliana dituduh melanggar regulasi dalam aktivitas perusahaan yang bergerak di bidang budidaya mutiara di Perairan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat (Lobar).
Permintaan tersebut secara resmi disampaikan melalui surat, yang juga ditembuskan ke Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB. Kepala Dislutkan NTB, Muslim, juga membenarkan adanya surat tersebut, dan menyatakan bahwa pihaknya sedang mengkaji langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemprov NTB.
“Mereka juga sudah mengajukan surat permintaan hearing ke Gubernur NTB, yang tembusannya ke kami (Dislutkan). Pihak Dislutkan sudah membuat telaah untuk gubernur mengenai langkah yang bisa diambil,” kata Muslim saat dikonfirmasi Radar Lombok, Selasa (25/3).
Terkait status hukum PT Sino Indo Mutiara, Muslim menjelaskan bahwa perusahaan tersebut memiliki sebagian izin dasar seperti Nomor Induk Berusaha (NIB), Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), dan izin dermaga. Namun ada izin yang masih dalam proses, termasuk izin usaha budidaya dalam kawasan konservasi yang hingga kini belum bisa diterbitkan.
“Dari sisi kelengkapan data, ada izin yang sudah lengkap, dan ada yang masih berproses. Salah satunya izin usaha budidaya di kawasan konservasi yang memang belum bisa diberikan,” jelasnya.
Ia menegaskan, bahwa meskipun memiliki NIB dan PKKPRL, perusahaan masih harus memenuhi izin lingkungan dan izin pemanfaatan kawasan konservasi, agar bisa beroperasi secara legal.
Penetapan Melliana sebagai tersangka memicu pertanyaan, terutama terkait dugaan diskriminasi dalam penegakan hukum. Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa PT Sino Indo Mutiara dijerat hukum, sementara banyak usaha tambak udang ilegal di NTB, justru tidak mendapat sanksi serupa.
Terkait itu, Muslim enggan berkomentar lebih jauh, dengan alasan bahwa proses hukum merupakan ranah Aparat Penegak Hukum (APH). “Soal penetapan tersangka itu ranah kepolisian, kami tidak bisa ikut campur. Kami juga tidak tahu apakah ada surat pemberitahuan sebelumnya atau tidak,” ujarnya.
Selain itu, beredar kabar bahwa ada oknum Ditpolairud yang meminta uang sebesar Rp500 juta terkait kasus ini. Namun Muslim menegaskan pihaknya tidak mengetahui adanya permintaan tersebut. “Kalau soal itu saya tidak tahu,” singkatnya.
Meski tak memberikan pendampingan hukum, Pemprov NTB menegaskan dukungannya terhadap dunia usaha, termasuk investasi di sektor kelautan dan perikanan. “Pada prinsipnya kami sangat mendukung investasi, karena dampaknya baik bagi masyarakat dan pemerintah. Kami berharap jika ada perizinan yang belum lengkap, diberikan ruang untuk melengkapinya,” harap Muslim.
Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko dan Permen KP No. 30 Tahun 2021 tentang Pengawasan Ruang Laut, seharusnya pendekatan utama dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran izin adalah sanksi administrasi dan pembinaan, bukan langsung penindakan pidana.
“Sesuai regulasi, jika ada pelanggaran, pendekatan yang diutamakan adalah pembinaan dan sanksi administrasi, bukan langsung pidana,” jelas Muslim.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, Mursal, saat dikonfirmasi terkait izin lingkungan PT Sino Indo Mutiara, tidak memberikan jawaban detail, dan mengarahkan pertanyaan kepada Kabid PPL. “Yang sudah kesana adalah Kabid PPL, dia yang tahu persis ceritanya,” ujarnya.
Sedangkan Plt Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB, Wahyu Hidayat, menjelaskan bahwa pengawasan terhadap perusahaan penanaman modal asing (PMA) seperti PT Sino Indo Mutiara berada dibawah kewenangan pemerintah pusat. “Kalau PMA pengawasannya oleh kementerian, sesuai dengan kewenangan perizinannya,” jelasnya.
Penetapan tersangka Direktur PT Sino Indo Mutiara, Melliana Dewi, dibenarkan Direktur Ditpolairud Polda NTB, Kombes Pol Andree Ghama Putra. Dimana pihak Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Ditpolairud) telah menetapkan Meliana Dewi sebagai tersangka, atas dugaan pengelolaan perikanan tanpa mengantongi izin berusaha.
Disampaikan, penetapan Melliana Dewi sebagai tersangka tersebut, sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dengan alat bukti yang kuat. “Sudah (penetapan tersangka sesuai SOP dan alat bukti),” timpal Andree, kepada Radar Lombok, kemarin.
Andree enggan berkomentar detail terkait kasus tersebut. Dirinya menyarankan untuk konfirmasi langsung ke Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Mohammad Kholid. “Silahkan ke Kabid Humas saja ya,” katanya.
Terpisah, Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Mohammad Kholid membenarkan adanya penetapan tersangka terhadap Melliana Dewi. Bahakan tersangka sudah mengajukan upaya hukum praperadilan ke pengadilan atas penetapannya sebagai tersangka.
Akan tetapi prapradilan yang ditempuh tersangka itu ditolak hakim. “Tersangka sudah melayangkan praperadilan dan sudah ada keputusannya, bahwa seluruh permohonan praperadilan tersangka ditolak seluruhnya,” ungkapnya.
Kemudian terkait ada oknum yang diduga melakukan pemerasan terhadap tersangka. Dugaan itu ditepis Kholid. Ia menegaskan, penetapan tersangka sudah sesuai dengan SOP dan ada alat bukti yang kuat.
Namun kalua memang ada dugaan pemerasan itu, maka pihaknya menyarankan bisa melapor ke Bidpropam Polda NTB. “Silakan bisa melaporkan ke Bidpropam,” ujar Kholid.
Sebagai tersangka, Melliana Dewi disangkakan Pasal 92 Jo Pasal 26 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2024 Tentang Perikanan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 45 Tahun Perikanan Sebagaiman Telah Diubah Dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU. (rat/sid)