Digugat Investor Rp 12 Miliar, Ini Kata Pemprov

Lalu Rudi Gunawan (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB memberikan tanggapan soal gugatan perdata yang dilayangkan Maritha Caroline, investor asal Medan, ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Gugatan wanprestasi senilai Rp 12 miliar itu, terkait jaminan keamanan kerja sama sewa lahan milik Pemprov NTB di kawasan Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

Kepala Biro Hukum Setda NTB, Lalu Rudi Gunawan mengungkapkan bahwa Pemprov NTB sudah berupaya menyelesaikan persoalan lahan Katara Hotel Gili Trawangan tersebut.

Bahkan pihaknya beberapa kali turun ke lapangan, menjelaskan kepada masyarakat Gili Trawangan bahwa lahan itu adalah aset pemerintah.
“Setahu kami itu sudah ada kesepakatan antara pihak Katara dan masyarakat sendiri. Jadi kami dianggap tidak melakukan apa-apa, tapi kami sudah lakukan, sudah turun. Masalahnya kita terbentur banyak masalah kepentingan di situ,” ujar Rudi, saat dikonfirmasi Radar Lombok, Jumat (19/1).

Pihaknya juga membantah disebut tidak tegas menyikapi persoalan ini. Ketika terjun ke lokasi, Pemprov berupaya untuk melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak untuk bersama-sama mencari win-win solution. Tapi dalam kasus ini, ditemukan ada perjanjian kerjasama sebelumnya antara Maritha Caroline, pemilik Katara Hotel, dengan pihak ketiga di kawasan itu.

Lalu pihak ketiga atas nama Sayuti, yang kemudian mengklaim bahwa lahan itu miliknya. Padahal sudah jelas lahan di pengelolaan lahan itu juga adalah hak Pemprov NTB. Disampaikan juga, siapapun yang ada di kawasan itu, baik masyarakat ataupun pengusaha (investor) dimata hukum adalah ilegal. Sebab, mereka tidak memiliki hak guna pengelolaan lahan tersebut.

Baca Juga :  Viral Seorang Pemuda Asal Gerung Hina Palestina di TikTok, Desak Datu: Hukum!

“Tanah itu rupanya sudah dikuasai oleh Pak Sayuti. Ada sistem menyewa disitu. Begitu kami masuk pendataan, yang bekerjasama dengan kami sudah kita sosialisasikan satu tahun lebih. Dan yang mengajukan itu (kerjasama dengan Pemprov, red) Katara hotel. Jadi kami bekerjasama dengan Katara Hotel secara aturan hukum,” terangnya.
“Ini tanah Pemprov, makanya mari kerjasama dengan Pemprov untuk melegalkan kalian bisa tinggal dan usaha disitu. Tentunya sesuai dengan aturan perundang-undangan,” tambahnya.

Saat Pemprov makukan sosialisasi, pihak ketiga itu tidak pernah mengajukan permohonan sekalipun ke Pemprov. Artinya secara hukum yang bersangkutan tidak memiliki legalitas dalam pengelolaan tanah tersebut.
“Sebelum bekerjasama dengan Pemprov, Katara Hotel sudah bekerjasama dengan Pak Sayuti. Cuma sayangnya waktu kami melakukan sosialisasi, pendataan dan pendaftaran, Pak Sayuti ini tidak pernah mengajukan permohonan,” ujarnya.

Persoalan ini kata Rudi, harus diselesaikan dengan seksama dan tidak terburu-buru. Disisi lain, Pemprov tidak ingin disebut tebang pilih yang hanya membela investor, serta menghiraukan masyarakat di Gili Trawangan. “Salah juga nanti kami,” ucapnya.

Namun terlepas dari itu semua, dia memastikan gugatan investor asal Medan ini tidak akan mempengaruhi dunia pariwisata di NTB. Mengenai klaim investor tersebut, akan diselesaikan di persidangan. Sehingga hasilnya lebih clear dan semua pihak bisa menerima penyelesaian dari masalah tersebut. “Insha Allah selesai, kami pun sudah melakukan banyak hal yang maksimal (penyelesaian investor, red),” katanya.

Baca Juga :  Dompu dan KLU Konsisten Tolak Izin Ritel Modern

Sebelumnya Kuasa Hukum Maritha Caroline, Asmuni, mengatakan pihaknya menempuh jalur hukum agar mendapatkan haknya sesuai perjanjian pemanfaatan lahan bekas kawasan PT Gili Trawangan Indah (GTI) Nomor: 900/217.6F/BKAD/2022, tertanggal 12 September 2022, dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB.

Materi pokok gugatan itu berkaitan dengan dengan klausal yang mewajibkan Gubernur NTB, sebagai pihak pertama memberikan jaminan keamanan berinvestasi. “Klien kami sudah melakukan perjanjian pemanfaatan di atas tanah sebagian hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov,” ujar Asmuni.

Dalam klausal itu, menyatakan bahwa investor dijamin keamanan dalam berinvestasi. “Ini (keamanan dalam berinvestasi) yang tidak kami dapatkan. Sampai saat ini tidak ada diberikan jaminan keamanan,” katanya.

Dengan tidak adanya jaminan itu, kliennya tidak bisa menempati lahan dan menjalankan usaha penginapan dan restauran tahun 2022 lalu itu. “Klien kami tidak bisa bekerja dengan tenang dan nyaman, karena diganggu pihak ketiga yang merasa sudah menempati lahan itu turun temurun,” sebutnya Dikatakan, dalam gugatan secara perdata ini kliennya meminta ganti rugi senilai Rp12 miliar.

Kerugian itu muncul dari segi materiel dan in materiil. “Secara materiil bisa kami buktikan, kerugian nyatanya itu Rp2,5 miliar. Untuk in materiil ini yang cukup besar, karena itu berkaitan dengan psikologis klien kami. Bahkan anak dari klien kami mengalami trauma karena mendapat ancaman, sampai takut balik ke Trawangan,” ujarnya. (rat)