PRAYA – Anggota DPRD Provinsi NTB, H Lalu Arif Rahman Hakim dilaporkan ke Polres Lombok Tengah. Anggota dewan dari Fraksi Nasdem ini dilaporkan bersama Lalu Mas’ud selaku mantan kepala desa persiapan Mekarsari atas dugaan tindak pidana penipuan penggelapan serta menjual tanah milik orang lain. Laporan tersebut dilayangkan pada Kamis (31/10) sesuai dengan surat tanda penerimaan pengaduan nomor: STPP/279/X/2024/SPKT Res Loteng.
Penasihat hukum pelapor, Setia Dharma mengungkapkan, pelapor yakni Syahrien Imron selaku saudara kandung dari Chaeroni Imron atau Nopel Syahfi asal Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggarahan, Kota Administrasi Jakarta Selatan. Kasus ini dilaporkan bermula saat Nopel Syahfi, almarhum yang merupakan saudara Syahrien Imron telah membeli tanah dari Lalu Arif Rahman Hakim pada tahun 1996 seluas 10.000 m2 berdasarkan Akta Notaris Nomor 12 tanggal 9 Mei 1996 yang disaksikan oleh Lalu Mas’ud. “Sekitar tahun 2005-2007 Nopel Syahfi, almarhum datang ke Lombok melihat tanah yang ia beli. Namun berdasarkan keterangan penduduk setempat bahwa tanah tersebut telah dijual oleh Lalu Arif,” ungkap Setia Dharma, Jumat (1/11).
Kemudian sekitar tahun yang sama Nopel Syahfi menemui Lalu Arif Rahman Hakim selaku Terlapor I menanyakan perihal tanah yang telah ia beli. Namun jawaban dari Terlapor I bahwa tanah tersebut telah dikuasai orang lain (preman) karena ditinggalkan. Pada saat itu, Nopel Syahfi, almarhum pernah meminta bantuan banyak orang, termasuk menemui Terlapor II (Lalu Mas’ud). Namun, Terlapor II tidak memberi solusi, justru menurut cerita keluarga atau pelapor jawaban Terlapor II terkesan melindungi Terlapor I. “Pada 17 November 2023 dan 2 Desember 2023, kami Kuasa Hukum Pelapor telah mengirimkan somasi kepada Terlapor I untuk mengembalikan tanah milik Nopel Syahfi, Almarhum cq Pelapor dan menunjukkan dimana letak tanah yang telah ia jual kepada Nopel Syahfi, almarhum. Namun, dua somasi kami tidak mendapatkan jawaban,” tambahnya.
Menurut Setia Dharma, sekitar November atau Desember 2023, mereka Kuasa Hukum Pelapor menghubungi Terlapor I melalui telepon dan meminta waktu untuk bertemu sekaligus menunjukkan tanah miliknya yang telah ia jual kepada klien mereka tahun 1996. Namun, jawabannya sangat mengherankan, ia mengatakan bahwa tanah tersebut telah lama ditinggalkan dan sudah dikuasai preman atau dikuasai orang lain. “Namun kami tetap bersikeras agar ia menunjukkan tanah tersebut. Jika benar bahwa tanah yang ia jual kepada klien kami adalah tanah miliknya dan ada fisiknya. Oleh karena kami terus mendesak, maka ia meminta kami menemui Terlapor II, dengan alasan semua hal mengenai tanah yang ia jual kepada Nopel Syahfi, almarhum tersebut telah ia serahkan urusannya kepada Terlapor II,” ucapnya.
Lebih jauh disampaikan, pada hari yang sama setelah berbicara melalui telepon dengan terlapor I, mereka kuasa hukum pelapor mendatangi rumah terlapor II. Setelah bertemu dengan terlapor II, ia lebih tidak dapat menerangkan apapun, bahkan cenderung berputar-putar dan tidak terang. Namun pada intinya ia mengatakan bahwa terlapor I tidak menjual dua kali miliknya melainkan tanah milik Nopel Syahfi Alm. Cq Pelapor telah dijual oleh Bapaknya terlapor I kepada orang lain. “Kami mendesak terlapor II untuk menceritakan karena terlapor II terlibat dalam dua kali jual-beli di atas tanah yang sama, sehingga tidak patut ia menuduhkan kejahatan terlapor I terhadap bapaknya yang sudah meninggal, namun terlapor II tetap bersikeras bahwa penjualan kedua kali dilakukan oleh Bapak Terlapor I,” terangnya.
Setia menilai antara terlapor I dan terlapor II telah membuat cerita bersama-sama yang mengarahkan kesalahan pada bapak terlapor I yang sudah meninggal. Oleh karenanya, kuasa hukum pelapor tidak melanjutkan pembicaraan dengan teralpor II, melainkan langsung menuju lokasi tanah yang ditunjuk oleh pelapor. “Kemudian kami menemui Kepada Dusun (Kadus) Tampah menanyakan mengani kedudukan tanah milik Pelapor. Menurut keteranganya, tanah tersebut dimiliki orang Bali yang dibeli sekitar tahun 2002 atau 2003 dari notaris. Di mana notaris tersebut membeli dari Lalu Arif atau Rachman atau dari Lalu Mas’ud, karena Kadus sendiri mendengar cerita dari kuasa hukum pembeli kedua dan menurutnya pernah sekilas ditunjukkan kepemilikannya,” ceritanya.
Atas kejadian itu, maka diduga terlapor I dan terlapor II bersama-sama atau tidak bersama-sama, namun teralpor II terlibat secara tidak langsung memudahkan dilakukannya kejahatan oleh terlapor I, yakni dugaan pelanggaran Pasal 385 KUHP, menjual tanah milik orang lain yang berlum bersertifikat, atau dugaan Pelanggaran Pasal 378 KUHP, Penipuan, menjual tanah yang seolah-olah miliknya, namun tidak pernah ada fisik tanah tersebut. “Termasuk dugaan pelanggaran Pasal 372, Penggelapan, menjual tanah milik orang lain yang dalam penguasaan secara de facto-nya karena orangnya dianggap tidak tidak pernah mendatangi tanah yang telah ia beli,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota DPRD Provinsi NTB, H Lalu Arif Rahman Hakim ketika dikonfirmasi masih enggan memberikan tanggapan dan memastikan akan melakukan gugatan balik. “Memang dilaporkan, saya mau gugat balik. Tunggu saya tidak mau jawab apapun dulu, tunggu sehari dua hari ini nanti saya kabari,” tambahnya. (met)