Dialektika Pilkades

Mujaddid Muhas, MA
Mujaddid Muhas, MA

Oleh: Mujaddid Muhas, M.A.

Hujan deras turun lagi di Dayan Gunung: Lombok Utara. Mengguyur sebagian besar hamparan gumi Tioq Tata Tunaq. Ketika itu saya masih mengetik di depan layar komputer lipat. Persis setelah berbincang-bincang ringan dengan pewarta, terkait pemilihan kepala desa (Pilkades) yang hari itu juga sedang berlangsung. 

Pilkades tahun 2019 di Lombok Utara, berlangsung pada sejumlah desa, tepatnya 25 desa pada lima kecamatan. Ada yang bilang bahwa Pilkades 2019 merupakan pendulum awal Pilkada 2020 pada tingkat kabupaten. Wacana ini mengemuka dan menghampiri ruang obrolan. Bisa sesuai bisa juga tidak. Hipotesa yang masih perlu diepik-emikkan dengan realita atau masih perlu petanda dan indikator stimulan yang padu padan dengan perkembangannya. 

Tetapi saya ingin memortal ulasan dari torehan ini an sich terhadap pilkades yang bagi lazim sebagian orang, menganggap bahwa Pilkades merupakan agenda pemungutan suara (demokrasi) yang paling lawas dan paling aras (membumi). Sebelum ada pilkada langsung, pilkades sudah terlebih dahulu menerap pemungutan suara langsung: satu orang satu suara, bagi yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih. Berbondong-bondong masyarakat bergegas ke tempat pemungutan suara (TPS), diumumkan melalui pengumuman panggilan speaker suara untuk memilih.

Setidaknya, pemantauan ijmal seadanya dan selewatan jalan, Pilkades di Lombok Utara terasa lengang bak suasana “lebaran”: syahdu, damai dan lancar. Pada beberapa TPS tampak petugas penyelenggara menggunakan pakaian adat, dengan ikat kepala (sapuq) dan peranti ornamen yang unik. Galibnya, terasa ada atmosfer riang gembira yang menyanubari dalam benak tiap orang. Tersugesti untuk datang dan melakukan pencoblosan, sesuai kehendak dari pilihan semenggahnya. 

Pilkades sebagaimana regulasi, didurasikan selama enam tahun dan boleh dijabat berturut turut atau tak berturut-turut oleh orang yang sama sebanyak tiga kali periode. Setahun lebih lama dan sekali periode lebih banyak daripada pilkada. Apatah lagi, kini desa telah mendapat limpahan kebijakan dari pemerintah pusat, berupa Alokasi Dana Desa yang kian tahun kian bertambah. Menyusul kebijakan lainnya dalam bentuk masifnya arah pembangunan yang bertumpu pada desa, berorientasi rural seiring berdayanya masyarakat.

Peluang dan potensi pengembangan desa terbuka luas, bak hamparan savana-sahara membentang untuk dikonstruksi sebagai peradaban mini Indonesia dan sebagai satu kesatuan dari desa-desa senusantara. Tak pelak, kini banyak lokus desa yang mengajukan usulan pemekaran, sebagai konsekuensi kebutuhan serta keinginan merapatkan interval rentang kendali kebijakan pembangunan desa. Kabupaten Lombok Utara saja, sedikitnya 10 desa kini berstatus desa persiapan yang berproses menuju desa definitif.

Untuk desa persiapan, masyarakat pemilihnya mengikuti Pilkades sesuai desa induk. Semisal Desa Pemenang Barat yang mengalami pemekaran desa yaitu Desa Persiapan Menggala. Masyarakat Desa Persiapan Menggala memilih pada Pilkades Pemenang Barat. Masyarakat desa persiapan turut serta melakukan pencoblosan di desa induk. Dari kabar arena dan informasi beberapa teman, banyak calon petahana kades yang kandas, lantaran tak mendapatkan asupan suara terbanyak. Kendati ada pula yang masih tetap unggul, seperti di Desa Tanjung, Desa Gumantar, Desa Bentek, dan Desa Santong. 

Selain ada kejutan, dari yang menang merupakan calon yang hampir tak diperkirakan. Fenomena unik pula terjadi, mantan kades periode sebelumnya (sebelum petahana) terpilih di Desa Sambik Elen. Bahkan Desa Sambik Elen yang merupakan desa penghujung Lombok Utara itu, kembali memilih mantan kadesnya yang pernah mencalonkan diri sebagai wakil bupati dahulu kala. Hal demikian sejatinya empirik, tokoh panutan dari rakyat, begitu mengidolakan, maka dipilih kembali oleh rakyat di desanya.

Pemilihan telah dilaksanakan dengan baik. Ada yang menang, ada pula yang kalah. Pilkades berlangsung damai dan lancar. Dialektika Pilkades yang bergumul dengan siklus langsung masyarakatnya, berdampak pada kepemimpinan yang perlu mengakar, adil dan peka aspirasi. Terlegitimasi menjadi pemimpin untuk semua. Saya teringat kata “Hakuna Matata” pada film animasi bagus bertajuk The Lion King. Frasa Hakuna Matata diulang sebagai semacam “hoki” dan menjadi aura dari film tersebut. Bahkan menjadi lirik lagu berjudul Jambo Bwana yang hit pada tahun 1980-an, renyah didengar.

Rupanya hujan telah reda. Sembari santai rileks, mengakhiri artikel ini. Saya menyampaikan selamat kepada yang diberi rakyat mandat kemenangan, termasuk bagi yang terpending. Ibarat pertandingan final, pasti ada menang dan kalah secara sportif. Hakuna matata, berjuang untuk pengabdian seutuhnya, menjura.(**)

Penulis adalah Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda KLU, pernah mengkaji fokus otonomi desa

Komentar Anda