MATARAM — Anggota DPRD Provinsi NTB turun lapangan melakukan pengecekan terhadap realisasi pelaksanaan proyek DAK 2022-2023 di sejumlah SMA (Sekolah Menengah Atas) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Hasilnya, dari pengecekan yang dilakukan itu ditemukan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan proyek DAK 2022 – 2023 tersebut.
Proyek terindikasi dimonopoli oleh Dikbud NTB. Sedangkan pelaksanaan di lapangan ditemukan tidak beres dan kacau.
Kondisi itu ditemukan saat anggota DPRD NTB menyambangi SMA 1 Jonggat di Lombok Tengah, Jumat (27/12) lalu. Sekolah ini mendapat alokasi DAK Rp 1,4 miliar lebih, untuk pembangunan lima lokal ruang kelas dan perangkat pendukung di dalamnya.
SMA 1 Jonggat dijadikan sebagai salah satu sampel pengawasan realisasi terkait dana pemerintah tersebut. “Kondisi kami temukan, pelaksanaan proyek kacau dan tidak beres,” kata ketua Panitia Khusus (Pansus) IV Ranperda Jasa Konstruksi DPRD NTB, Hamdan Kasim.
Menurutnya, temuan Pansus IV DPRD NTB sinkron dengan kasus DAK SMA/ SMK Tahun 2024 yang sedang jadi perhatian publik. Dia menilai PPK sampai Kepala Dinas Dikbud NTB harus bertanggungjawab atas persoalan yang timbul dilapangan.
Atas persoalan tersebut, DPRD NTB mendesak kepada Pj Gubernur NTB agar melakukan evaluasi terhadap Kadis Dikbud NTB Aidy Furqan bahkan mencopot dari jabatannya. “Tentu paling bertanggungjawab adalah Kadis Dikbud NTB. Pj Gubernur tolong lakukan evaluasi, bila perlu dicopot,” tandas politisi muda Partai Golkar tersebut.
Hamdan kemudian membeberkan temuan kejanggalan pelaksanaan proyek DAK 2022 – 2023 khusus di SMA 1 Jonggat yang dijadikan sampel. Pertama, secara yuridis dan formil yang bertanggung jawab adalah kepala sekolah. Karena kepala sekolah tanda tangan di semua RAB.
Namun temuan di lapangan, kendati kepala sekolah tanda tangan di RAB. Tapi penunjukan pihak ketiga dan pengerjaannya dari dinas melalui PPK. Menurutnya, konsep ini aneh dan janggal. Kepala sekolah dibebankan tanggungjawab, tapi tidak dengan pelaksanaan pekerjaan proyeknya.
“Paling tidak, kalau kepala sekolah ambil peran, bisa mengetahui jenis dan kualitas barang yang dibeli. Tapi ini aneh, dia tidak ketahui,” ungkap mantan Ketua DPD KNPI NTB.
Akibatnya, sekolah tidak bisa berbuat banyak. Kepala sekolah tidak berani mengingatkan apalagi menegur pelaksana proyek.
Persoalan lain timbul, saat finishing bermasalah. Komponen bangunan yang tidak tuntas, terpaksa dibangun sendiri oleh sekolah. “Ini kan jelas tidak beres,” tegasnya.
Komponen bangunan yang tidak dikerjakan rekanan, seperti keramik, plafon dan instalasi listrik. Paling aneh, pembangunan sekolah itu tanpa tangga. Ketika digunakan, berdampak ke kesehatan dan kenyamanan siswa saat belajar. Sehingga sekolah pun panen protes dari warga dan orang tua siswa.
“Akhirnya apa yang terjadi? Sekolah yang terpaksa finishing. Ini apa dasar hukumnya, kenapa bukan pihak ketiga yang finishing?” sesalnya.
Kejanggalan kedua yang ditemukan, Dinas Dikbud mengambil peran penuh dalam pelaksanaan proyek. Setelah sekolah tanda tangan, semua urusan dengan pihak ketiga hingga suplay material, dilakukan oleh Dinas Dikbud.
“Apa fungsinya kepala sekolah di sini? Sementara dia tanda tangan. Dia tidak bisa menilai atau menolak kualitas material, karena semua sudah ditangani oleh dinas. Ini kan jadi pertanyaan,” ujarnya.
Diungkapkan, ini temuan kejanggalan dari baru satu sekolah. Dia menyakini praktik serupa terjadi sekolah lain, ditambah lagi informasi diperolehnya 6 sekolah hasil monev juga bermasalah.
“Jumlah SMA dan SMK di NTB capai ratusan . Bisa dibayangkan bagaimana terjadi di sekolah lainnya. Negara bisa rugi bermiliar miliar,” terangnya.
Lebih lanjut, sesuai dengan agenda, Pansus ingin melakukan revisi Perda Nomor 5 tahun 2014 yang dianggap tidak relevan lagi. Pansus menggodok agar Perda yang baru nanti, menerapkan sanksi kepada pihak pihak yang terkait dalam pelaksanaan proyek. “Harus ada sanksi terhadap pekerjaan yang tidak sesuai spek,” imbuhnya.
Sebab itu, RanPerda kedepan ini harus mendorong transparansi dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan, apalagi terjadi anomali. “Tidak boleh PHO kalau proyek belum selesai atau tidak seperti yang direncanakan. Jadi jangan buat Berita Acara Serah Terima. Seperti kasus temuan di SMA 1 Jonggat,” lugasnya.
Seperti diketahui, Dana DAK Tahun 2022 untuk SMA Rp 92,24 miliar dan SMK Rp 98,94 miliar. Sedangkan Tahun 2023, untuk SMA Rp 79,85 miliar dan SMK Rp 92,96 miliar. (yan)