
MATARAM — Berdasarkan dokumen RPJMD 2019-2023, Biro Hukum yang mengampu Indikator Kinerja Daerah antara lain mempresentasikan penyusunan produk hukum daerah yang berkualitas dan presentase penyelesaian permasalahan hukum litigasi dan non-litigasi.
Meskipun terhadap indikator kinerja dalam LKPJ Tahun 2022 yang dilaksanakan oleh Biro Hukum telah mencapai target, akan tetapi pihak Komisi I DPRD NTB mencatat masih terdapat persoalan hukum yang belum terselesaikan saat ini, yaitu terkait permasalahan lahan Provinsi NTB atas HPL seluas 65 hektare di Gili Trawangan pasca diputusnya kontrak dengan PT.Gili Trawangan Indah (GTI).
Ketua Komisi I DPRD NTB, Muhammad Akri mempertanyakan status lahan Provinsi NTB di Gili Trawangan tersebut. Pasalnya, berdasarkan pengamatan Komisi I, bahwa sampai saat ini Pemerintah Provinsi NTB belum mampu menguasai dan melakukan pengelolaan terhadap lahan tersebut.
“Bahkan sekadar untuk memasang plank kalua lahan seluas 65 hektare di Gili Trawangan tersebut, merupakan milik Provinsi NTB sebagai pemegang HPL, belum bisa dilakukan,” katanya dalam penyampaian Komisi I terhadap LKPJ Gubernur NTB tahun 2024, kemarin.
Dia menilai permasalahan lahan Provinsi di Gili Trawangan sepertinya belum ada kepastian hukum. Sebab, masih terdapat pihak atau masyarakat yang memprotes bahwa lahan tersebut, bukan tanah Pemerintah Provinsi, tapi tanah milik masyarakat yang diambil paksa oleh Pemerintah.
Padahal, permasalahan Gili Trawangan telah menjadi perhatian KPK untuk penyelamatan aset Provinsi NTB. Sebab itu, KPK mensinyalir ada potensi triliunan uang negara yang hilang karena salah kelola di kawasan Gili, dan KPK ingin memastikan kerugian negara yang terjadi pada lahan di Gili Trawangan selama ini.
Lebih lanjut, Terhadap permasalahan Gili Trawangan itu, Komisi I DPRD meminta Langkah-langkah Pemerintah Provinsi NTB untuk kepastian status hukum lahan Gili Trawangan tersebut. “Dan mendorong Pemerintah Provinsi melakukan percepatan pemulihan da optimalisasi pemanfaatan aset di Gili Trawangan ke depan,” tandasnya.
Disisi lain, Komisi I juga adanya kebijakan Pemerintah Pusat atau Menpan RB mengenai penghapusan tenaga honorer, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2018 disebutkan bahwa pegawai non-PNS yang masih bertugas di instansi pemerintah, masih bisa melaksanakan tugasnya maksimal sampai dengan Tahun 2023.
Artinya, Tahun 2023 merupakan tahun terakhir adanya tenaga honorer. Atas dasar tersebut, Komisi I DPRD merekomendasikan ; Pertama, Badan Kepegawaian Daerah harus melakukan Langkah- langkah sebagai berikut, yakni melaksanakan pemetaan pegawai non-ASN di lingkup Pemerintah Provinsi.
Bagi pegawai non-ASN yang memenuhi syarat dapat diikutsertakan atau diberikan kesempatan mengikuti seleksi Calon PNS maupun PPPK, menghapuskan jenis kepegawaian selain PNS dan PPPK di lingkup Pemerintah Provinsi dan tidak melakukan perekrutan pegawai non-ASN.
Dalam hal instansi pemerintah membutuhkan tenaga lain seperti pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan (security), dapat dilakukan melalui outsourcing oleh Pihak Ketiga, dan status outsourcing tersebut bukan tenaga honorer pada instansi yang bersangkutan.
“Selain itu, terhadap kebijakan penghapusan tenaga honorer tersebut, Komisi I DPRD juga meminta Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dan Badan Kepegawaian Daerah untuk menyusun langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak lulus seleksi Calon PNS maupun Calon PPPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” lugasnya. (yan)