MATARAM — Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum Ketua Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) di Lombok Barat (Lobar), memicu keprihatinan luas. Anggota Komisi V DPRD NTB Bidang Pendidikan, H. Didi Sumardi, bahkan menyatakan kalau Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kini berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
“Bisa kita katakan saat ini kita berada di dalam posisi darurat kekerasan seksual. Itu kalau kita lihat fenomena dan fakta-fakta secara nasional itu, banyak daerah yang terjadi seperti itu” kata Didi Sumardi, Rabu (23/4).
Politisi Partai Golkar itu menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap lembaga pendidikan, terutama berbasis keagamaan, untuk memastikan perlindungan terhadap anak-anak dan santri.
“Ini di semua ruang dan areal yang di situ ada potensi terjadi kekerasan seksual, misalnya di sektor kesehatan, pendidikan, sektor sosial, dan lainnya kita harus perhatikan” ujarnya.
Didi mengingatkan bahwa kasus-kasus seperti ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat, terutama para orang tua yang meragukan keamanan lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka. Apalagi pelaku kekerasan seksual kerap berasal dari kalangan yang tak terduga, seperti oknum pendidik atau pihak yang memiliki kuasa dalam lembaga.
Didi menyebutkan bahwa strategi pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak lagi bersifat kasus per kasus. Gubernur NTB H.Lalu Muhamad Iqbal kata Didi memiliki tugas yang tidak ringan terkait dengan bagaimana mencegah kasus kekerasan seksual.
Makanya Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal diminta menggandeng seluruh pemangku kepentingan termasuk Kementerian Agama dan pemerintah kabupaten/kota untuk membentuk gerakan massif melawan kekerasan seksual.
“Sehingga kita memiliki satu gerakan secara masif untuk melakukan itu (pencegahan, red) tidak parsial, tidak case by case,” imbuhnya.
Munculnya sejumlah kasus kekerasan seksual di NTB belakangan ini menjadi momen yang tepat untuk mendiskusikan kembali usulan dari Pemprov NTB yang akan melebur DP3AP2KB ke OPD yang lain seperti ke Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial.
“Komisi V dan komisi lain akan sharing untuk mendiskusikannya secara tepat. Saya pada posisi yang semangat seperti yang disampaikan oleh Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak dan argumen yang disampaikan oleh ekskutif juga kami akan cermati,” ujarnya.
Senada, Anggota Komisi V DPRD NTB lainnya, Muhammad Jumhur mengaku prihatin dan menyesalkan adanya kasus pencabulan yang dilakukan oknum Pimpinan Ponpes terhadap puluhan santriwatinya di Lobar. “Kita prihatin dan sesalkan adanya kasus ini,” kata Anggota DPRD NTB dapil Lobar-KLU ini.
Dia tidak menampik, jika kasus pencabulan yang dilakukan oknum Pimpinan Ponpes terhadap puluhan santriwati itu mencoreng nama baik Ponpes. “Kasus ini tentu mencoreng nama baik Ponpes,” ungkap politisi PKB tersebut.
Menurutnya, dengan adanya kasus itu, Forum Komunikasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren (FKSPP) Lobar, tidak boleh tinggal diam. FKSPP perlu turun tangan melakukan investigasi terhadap kasus yang terjadi di salah satu Ponpes di Lobar tersebut.
Dari hasil investigasi, FKSPP bisa melakukan evaluasi terhadap Pnpes tersebut. “Saya kira FKSPP perlu melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kasus ini,” terangnya.
Dia juga mengatakan, bahwa adanya kasus ini menjadi catatan penting bagi Kemenag NTB, bagaimana pengawasan terhadap Ponpes-Ponpes yang ada di NTB. Perlu ada peningkatan pengawasan terhadap Ponpes-Ponpes ada di NTB, sehingga kasus serupa tidak terulang lagi dilingkup Ponpes di NTB.
Dia melihat kasus serupa sudah beberapa kali terjadi di sejumlah kabupaten, sehingga perlu ada langkah terobosan melakukan pengawasan terhadap Ponpes. Dengan begitu, kasus serupa yang terjadi dilingkup Ponpes di NTB bisa dicegah dan dihindari. “Nah, bagaimana pengawasan dari Kemenag NTB, sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi,” imbuhnya.
Ditambahkan, pihaknya mendukung jika pelaku oknum Pimpinan Ponpes itu diberikan sanksi berat, jika memang nantinya oknum itu terbukti melakukan tindak pidana pelecehan terhadap puluhan santriwatinya.
Bahkan pihaknya mendukung jika nanti pemerintah mencabut izin dari Ponpes tersebut. “Saya kira harus ada sanksi berat bagi pelaku, sehingga ada efek jera bagi pelaku dan lainnya,” ucap Ketua DPC PKB Lombok Utara ini.
Namun demikian, dia tidak memungkiri, selama ini keberadaan dari Ponpes-Ponpes yang ada terkesan dianaktirikan oleh pemerintah. Ponpes-Ponpes kurang memperoleh support dan dukungan dari pemerintah, sehingga banyak Ponpes dari sisi sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar cukup memprihatinkan.
Sebab itu, dengan adanya sejumlah kasus terjadi dilingkup Ponpes, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada Ponpes, dan sekaligus peningkatan pengawasan. “Dengan begitu, adanya kasus yang terjadi dilingkup Ponpes bisa diminimalisir,” tandasnya.
Sedangkan Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal, merespons cepat kasus yang menimpa santriwati di salah satu pondok pesantren di Lombok Barat. Mantan Dubes itu langsung memerintahkan Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTB, Eny Chaerani, untuk turun langsung memberikan pendampingan kepada para korban.
“Tiang (saya) mohon bantuan ke pelungguh (Kepala UPTD) segera berkoordinasi dengan lembaga-lembaga perlindungan korban yang ada enggih!” katanya.
Gubernur Iqbal juga meminta agar seluruh proses pendampingan menjaga penuh kerahasiaan dan privasi para korban, mengingat dampaknya terhadap masa depan mereka. Termasuk memastikan ketersediaan layanan trauma healing.
“Berikan dukungan langsung tidak usah terlalu birokratis. Niki tiang gubernur meminta langsung kepada pelungguh memberikan bantuan sebaik mungkin,” pintanya.
Sementara itu Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima arahan langsung dari Gubernur NTB untuk membantu proses pendampingan.
“Pak Gubernur sudah telpon saya. Kami diminta menjalin komunikasi dengan dinas teknis dan pihak Pemkab Lombok Barat,” ujar Joko.
Hingga kini, LPA telah melakukan pendekatan pada delapan korban dan menjamin kerahasiaan identitas mereka. Joko juga menegaskan bahwa tindakan pelaku bersifat personal dan tidak mewakili institusi pondok pesantren tempat ia bernaung sebelumnya. “Yang bersangkutan (pelaku) juga sudah dikeluarkan dari ponpes,” tambahnya.
Kasus ini mulai mencuat ke publik usai viralnya film asal Malaysia berjudul Bid’ah yang mengangkat kisah tokoh agama bernama Walid yang melakukan kekerasan seksual pada santriwatinya. Cerita dalam film itu disebut memiliki kemiripan dengan kasus nyata yang terjadi di salah satu ponpes di Lombok Barat. (rat/yan)