Dewan Minta TAPD Dievaluasi

Ilustrasi Evaluasi TPAD

TANJUNG-Dari sejumlah pandangan fraksi-fraksi terhadap Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran 2017 menganggap penyusuan RAPBD 2017 tidak cermat.

Ketidaksinkronan data KUA-PPAS dengan RAPBD menunjukan ketidaksuksesan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Oleh karena itu, TAPD yang  diketuai sekda, koordinator Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bapeda), Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Bagian Pembangunan, Bagian Hukum, dan beberapa SKPD lainnya harus dievaluasi. “Penyusunan RAPBD yang tidak sinkron dengan KUA-PPAS telah melanggar perundang-undangan. Ini harus dilakukan pembenahan terhadap TAPD, supaya betul-betul bekerja dan tidak sekedar bekerja. Ketika terjadi perubahan mereka harus mengkonsultasikan dengan DPRD, supaya dewan tidak terkejut pada saat menerima RAPBD,” tegas anggota Banggar DPRD Lombok Utara, Ardianto, Kamis kemarin (8/12).

Penyusunan RAPBD yang tidak tepat, menurutnya, termasuk kelalaian, tidak paham dan lainnya. karena, menganggap persoalan ini enteng. Dan ini sudah seringkali terjadi. Apalagi visi-misi bupati sudah masuk tahun kedua pemerintahan. Dalam rangka mensukseskan visi-misi tentu harus didukung dengan aparatur yang paham terhadap anggaran dan visi-misi bupati. “Ini harus dievaluasi, TAPD ini diketuai Sekda, koordinator Bappeda, bagian hukum, dan SKPD lainnya,” ungkapnya. 

Sementara itu, juru bicara Fraksi Hanura Rianto menegaskan, sesuai ketentuan pasal 265 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan, RKPD menjadi pedoman kepala daerah dalam menyusun KUA-PPAS. Selanjutnya pada pasal 310 ayat 2 menyatakan, KUA-PPAS yang telah disepakati kepala daerah bersama DPRD menjadi pedoman perangkat daerah dalam menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan menyusun RAPBD.

Selanjutnya, pada pasal 311 ayat 3, rancangan peraturan daerah yang dimaksud ayat 1 dibahas kepala daerah bersama DPRD dengan berpedoman pada RKPD, KUA dan PPAS untuk mendapatkan persetujuan bersama. Berikut juga dalam Permendagri nomor 31 tahun 2016 tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2017 menyatakan dalam membahas rancangan peratuan daerah tentang APBD tahun 2017 wajib memperdomoninya.

Perbedaan yang terjadi, yaitu pendapatan daerah pada nota kesepakatan sebesar Rp 833 miliar lebih. Sedangkan pada penjelasan RAPBD Rp 841 miliar lebih atau terjadi peningkatan Rp 8 miliar lebih. Yaitu bersumber dari lain-lain PAD yang sah nota kesepakatan Rp 41 miliar lebih menjadi Rp 49 miliar lebih.

Padahal, pada KUA-PPAS disepakati peningkatan Rp 12 miliar. Kemudian, pada RAPBD mengalami peningkatan Rp 20 miliar lebih. Begitu juga pada pos belanja, nota kesepakatan sebesar Rp 864 miliar lebih sedangkan di RAPBD menjadi Rp 878 miliar lebih. Sehingga berpengaruh juga ke belanja tidak langsung dan belanja langsung. Selain itu, belanja hibah dalam KUA-PPAS disepakati Rp 14 miliar lebih sedangkan di RAPBD menjadi Rp 16 miliar, terjadi peningkatan Rp 2 miliar. Kemudian, belanja bansos pada KUA-PPAS sebesar Rp 12 miliar turun menjadi Rp miliar.

Hal serupaya diungkapkan Ketua Fraksi Golkar Ikhawanudin. Rumusan RAPBD harus benar-benar sesuai dengan perencanaan dan penetapan OPD yang baru, sehingga dapat diminimalisir hal-hal yang dapat menjadi penghambat efektivitas kinerja masing-masing SKPD. Dan penempatan SDM harus bersesuaian dengan kompetensi, kualifikasi, dan profersional, arif, bijaksana, berkeadilan, dan mengkedepankan kualitas input, proses dan hasil terhadap pengisian SKPD.

Sementara itu, Juru Bicara Fraksi Demokrat Kardi menegaskan, terjadi penurunan pendapatan pada pos retribusi daerah sebesar Rp 11 miliar lebih yang telah disepakati di KUA-PPAS, kemudian pada RAPBD turun menjadi Rp 10 miliar. “Tentu penurunan ini menjad tanda tanya kami,” tandasnya.

Selain itu, Fraksi Demokrat juga menekankan pada tahun anggaran 2017 merupakan tahun kedua perjalanan RPJMD pasangan NASA. Salah satu kebijakan disorot, yaitu mencetak wirausaha baru dengan pemberian dana bantuan modal Rp 3 juta per wirausaha. “Pemerintah harus memiliki data konkrit terpadu antar SKPD terkait jumlah data ril, akurat, berkeadilan, sehingga data yang dipakai benar-benar skala prioritas, sehingga dapat menurunkan angka kemiskinan secara umum tanpa ada kelompok-kelompok tertentu,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Merah Putih Nasrudin mempertanyakan juga, adanya perbedaan angka yang telah disepati pada KUA-PPAS. Namun, ia lebih menekankan kepada kenaikan PAD sebesar Rp 135 miliar lebih, harus mempertimbangkan potensi PAD yang ada dan objek mana yang harus diseriusi.

Berbeda yang diutarakan Ketua Fraksi PKN Tusen Lashima. Ia justru mengkhawatirkan adanya penundaan pembayaran Dana Alokasi Umum (DAU) oleh pemerintah pusat, sehingga berimbas ke pekerjaan tahun depan. Penundaan ini, menurutnya, tidak maksimalkan merealisasikan program kegiatan sehingga kas daerah cukup besar mengendap di bank. Oleh karena itu, ia menyarankan supaya mengevaluasi kinerja SKPD yang tidak maksimal menjalankan visi-misi pemerintahan daerah. “Tidak loyal harus segera dievaluasi agar visi-mis program dan kegiatan yang direncanakan tidak terjadi distorsi yang tidak sesuai,” pungkasnya. (flo)