MATARAM – Anggota Komisi I DPRD Provinsi NTB, H Makmun meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB menghentikan proses pembangunan Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Lombok di Desa Puyung, Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah.
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, kekalahan pemprov atas sengketa lahan di lokasi pembangunan Poltekpar melawan warga, tidak bisa dianggap enteng. Masalah tersebut sangat mendasar dan tidak boleh disikapi gegabah. “Kalau sudah bicara masalah hukum, apalagi pemprov kalah, maka tunda dulu pembangunannya. Jangan dilanjutkan, bisa tambah jadi masalah nanti,” ujar Makmun kepada Radar Lombok Jumat kemarin (8/12).
Pengadilan Tinggi (PT) Mataram memenangkan gugatan masyarakat yang mengaku ahli waris pemilik lahan, tentu setelah melalui berbagai mekanisme hukum. Hal yang menjadi perhatiannya, apabila kasasi di Mahkamah Agung (MA) tetap memenangkan warga, maka negara akan semakin banyak mengalami kerugian. “Kita sarankan agar dihentikan pembangunannya, agar nanti tidak sia-sia. Bagaimana kalau kalah juga di kasasi, kan mubazir uang negara yang dipakai membangun,” terangnya.
Oleh karena itu, langkah yang paling bijak menurutnya adalah menjaga kenyamanan dan kondusifitas terlebih dahulu. Pemprov harus mengalah untuk sementara waktu dengan cara menghentikan proyek tersebut. “Colling down dulu lah, yang kita lawan juga kan masyarakat kita sendiri. Mereka menggugat karena merasa berhak dan pengadilan juga memenangkan mereka. Silahkan kasasi, tapi jangan perkeruh suasana dengan tetap melanjutkan proyek,” saran Makmun.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB, H Rosiady Sayuti saat dimintai tanggapannya, menegaskan bahwa pemprov memiliki bukti yang kuat atas kepemilikan lahan di lokasi pembangunan Poltekpar. Berbagai bukti yang dimiliki tersebut, sangat cukup untuk membawa sengketa ke Mahkamah Agung (MA).
Oleh karenanya, langkah kasasi yang akan diambil, diyakini bisa dimenangkan. Dengan begitu, tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan terkait sengketa lahan tersebut. “Bukti kita kuat, lengkap. Makanya kita akan kasasi,” jawab Sekda.
Kepala Biro Hukum Pemprov NTB, Ruslan Abdul Gani menegaskan, proses pembangunan Poltekpar tidak akan terganggu dengan kondisi saat ini. “Kita akan kasasi kok, jadi pembangunan terus berlanjut. Tidak akan terganggu,” katanya.
Terpisah Wakil Gubernur Muhammad Amin mengatakan, pemprov sudah menyepakati untuk menempuh upaya hukum selanjutnya yakni kasasi ke MA.
Kasasi itu dilakukan, karena pemprov sendiri masih meyakini bahwa lahan tersebut menjadi milik pemprov. “Kita masih menyiapkan untuk pengajuan kasasi itu, karena opsi yang sementara ini masih ada ruang yang bisa kita lakukan musyawarah atau mediasi,”jelasnya.
Dalam mediasi ini diharapkan akan ada titik temu antara warga dengan pemerintah. Terlebih jika pembangunan Poltekpar tersebut semata- mata demi untuk memajukan Sumber Daya Manusia (SDM) menghadapi berkembangnya sektor pariwisata NTB. “ Selain melakukan kasasi maka kita akan mediasi termasuk melakukan musyawarah karena ini menyangkut kepentingan publik yang harus menjadi pertimbangan. Karena niat awal pemerintah dalam membangun itu untuk membangun SDM dan memang kebutuhan dari industri pariwisata yang ada,”jelasnya.
Amin memastikan, kendati lahan tersebut masih dalam proses sengketa namun pembangunan akan tetap berjalan mengingat pembangunan tersebut sudah hampir rampung. ”Saya sudah meminta biro hukum untuk mempelajaruinya karena masih ada tenggat waktu selama 15 hari dan kita sangat menghargai itu,”tambahnya.
Berdasarkan putusan PT Mataram nomor 149/PDT/2017/PT.MTR tertanggal 22 November, telah mengabulkan banding Suryo dan membatalkan putusan PN Praya nomor 37/Pdt.G/2016/PN.Pya, tertanggal 14 Juni 2017 yang sebelumnya memenangkan Pemprov NTB atas lahan seluas 41,555 hektar di Desa Puyung.
Isi putusan juga menyebutkan bahwa sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan BPN Lombok Tengah tertanggal 19 Agustus 1982 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga, produk turunannya seperti sertifikat hak pakai yang menjadi dasar pembangunan Poltekpar Lombok juga tidak sah.
Pemprov NTB diharuskan segera menyerahkan tanah objek sengketa kepada penggugat dengan seketika dan tanpa syarat. Oleh karena itu, seluruh aset dan bangunan yang ada di lokasi menjadi kewenangan penggugat. Itu artinya, berhak juga penggugat menghancurkan bangunan Poltekpar yang sudah ada.(zwr/cr-met)