MATARAM – Kasus destructive fishing atau penangkapan ikan menggunakan bahan peledak masih menjadi masalah serius di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hingga Desember 2024, Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB mencatat delapan kasus bom ikan yang telah masuk tahap SP21.
Ketua Tim Kerja Pengawasan Dislutkan NTB, I Gusti Komang Yuliantara, mengungkapkan bahwa modus operandi yang digunakan pelaku sangat merusak. “Mereka menggunakan bom yang dirakit dari jerigen berisi bahan peledak, baterai, dan botol. Satu ledakan saja bisa merusak ekosistem laut hingga radius 25-50 meter, bahkan lebih parah dengan bom jerigen,” Ungkap Rama sapaan akrab Ketua Tim Kerja Pengawasan Dislutkan NTB saat dikonfirmasi Radar Lombok, Rabu (11/12/2024)
Rama menyebut wilayah-wilayah yang rawan terjadi destructive fishing di NTB mencakup Perairan Sape, Pulau Sangiang di Bima dan Selat Alas, Pulau Panjang di. Di Sumbawa, kasus serupa sering terjadi di Teluk Saleh, Pulau Liang, dan Pulau Ngali. Di Bima, kasus banyak ditemukan di Teluk Sanggar dan Teluk Sape.Biasanya tempat penjualan ikan hasil tangkapan bom ada di Pasar Tanjung, Pasar Labuhan Lombok di Lombok Timur, Pasar Alas, Pasar Seketeng di Sumbawa, Pasar Amahami dan Sape di Bima,
Setiap kabupaten memiliki target pelaku yang cukup tinggi. Di Kabupaten Bima, misalnya, terdapat lebih dari empat pelaku yang menjadi target pengawasan, sementara di Sumbawa jumlahnya lebih banyak, tersebar di beberapa desa. Disisi lain penanganan kasus destructive fishing tidak mudah. Kendala utama adalah minimnya anggaran operasional.
“Operasi laut membutuhkan biaya besar, terutama untuk BBM yang harganya tinggi. Satu kali operasi bisa menghabiskan 200-300 liter BBM, belum termasuk konsumsi dan biaya lainnya,” ujar Komang.
Selain itu, pelaku sering kali tidak jera meskipun telah dipenjara. Ada pula laporan kebocoran informasi sebelum operasi dilakukan, sehingga upaya penangkapan sering kali gagal.
“Masalahnya, sebagian oknum masyarakat sulit diberi pemahaman. Mereka hanya memikirkan keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan dampak jangka panjang,” tambahnya.
Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk pemasangan alat sensor pendeteksi bom di Lombok Timur oleh Kementerian. Hasilnya, di wilayah utara Lombok Timur, kasus destructive fishing mulai menurun. Namun, di wilayah selatan, seperti kawasan Pantai Pink, aksi pengeboman masih terjadi.
Ke depan, pemerintah berencana menerapkan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini mengedepankan sanksi denda dan upaya humanis untuk mendekati pelaku, dibandingkan hanya memberikan hukuman penjara.
“Kami akan koordinasi dengan pihak terkait, seperti Sat Polairud, Angkatan Laut, dan Kejaksaan, untuk menyusun formulasi baru pada 2025,” kata Komang.
Selain itu, pemerintah juga mengusulkan peningkatan frekuensi operasi laut, minimal lima hingga sepuluh kali per bulan, untuk menekan kasus destructive fishing. Namun, hal ini bergantung pada alokasi anggaran yang memadai.
Terpenting adalah sosialisasi tentang bahaya destructive fishing terus dilakukan, tetapi tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir pelaku. Dengan kerja sama semua pihak, pemerintah berharap pada 2025 ada penurunan signifikan dalam kasus destructive fishing, sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem laut NTB untuk generasi mendatang.
“Kami ingin mendekati mereka secara persuasif, berdiskusi secara humanis, agar mereka memahami bahwa menangkap ikan tidak harus dengan cara merusak lingkungan,” pungkas Komang.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB, Muslim menambahkan bahwa pemprov terus menggencarkan upaya pencegahan dan penanggulangan destructive fishing di wilayah perairan NTB. Diakui aktivitas destruktif, seperti pengeboman ikan, masih ditemukan di beberapa wilayah, khususnya di perairan Sape dan Teluk Saleh.
“Secara prinsip, aktivitas pengeboman masih ada, terutama di sekitar perairan Sape dan Teluk Saleh. Untuk mengurangi ini, pemprov tetap intensifkan pola kemitraan dengan aparat keamanan, seperti Polairud dan TNI AL, serta Pokwasmas untuk melakukan patroli terpadu,” ujar Muslim.
Muslim menambahkan, pemerintah daerah juga menggandeng organisasi non-pemerintah (NGO) untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengawasan ini. Langkah tersebut dilakukan di tengah keterbatasan anggaran fiskal daerah.
Namun, upaya ini tidak lepas dari tantangan. Menurut Muslim, nilai tambah bagi daerah dalam pengelolaan dan pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) menjadi terbatas akibat regulasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
“Nilai tambah bagi daerah terhadap pengelolaan dan pengendalian SDKP saat ini sangat dibatasi oleh UU 1 Thn 2022 tengangHKPD namun di sisi lain nilai tambah SDKP justru langsung masuk menjadi PNBP KKP,” katanya
Destructive fishing mencakup berbagai aktivitas berbahaya, seperti penggunaan bom ikan, racun atau potas, setrum, cantrang, serta alat tangkap lainnya yang merusak lingkungan laut. Dampak dari kegiatan ini sangat serius, termasuk kerusakan habitat dan ekosistem laut. Pembunuhan berbagai jenis ikan tanpa memandang ukuran. Ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia, baik nelayan maupun masyarakat sekitar.
“Dampaknya sangat merusak. Oleh karena itu, kita terus berupaya mencegah dan menghentikan kasus destructive fishing di seluruh perairan NTB,” tegas Muslim. (rat).