Destructive Fishing Ancam Ekosistem Laut NTB

Perairan teluk ekas

MATARAM – Praktik destructive fishing, seperti penggunaan bom ikan, telah memberikan dampak luar biasa buruk terhadap ekosistem laut di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak hanya ikan konsumsi yang menjadi korban, ikan-ikan kecil yang berperan penting dalam rantai makanan juga ikut terdampak.

Akademisi Universitas Mataram Prof. Dr. Ir. Muhammad Junaidi , M.Si menyampaikan tiga ekosistem utama yang terkena dampak besar adalah terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Penangkapan ikan dengan bom menciptakan kerusakan besar yang radiusnya bisa mencapai 25 meter, tergantung kekuatan bahan peledak yang digunakan.

“Dampaknya ke ekosistem, terutama terumbu karang, sangat besar. Terumbu karang itu rusak, padang lamun ikut terpengaruh, dan ekosistem mangrove juga bisa terdampak. Padahal, terumbu karang adalah habitat utama berbagai spesies ikan,” ujar Prof Jun sapaan akran Dosen Pangampu Budidaya Perairan ini kepada Radar Lombok, (27/11).

Prof Jun menyatakan kerusakan yang terjadi akibat destructive fishing memerlukan waktu puluhan tahun untuk dipulihkan. Sebagai contoh, perairan di Gili Trawangan pernah menjadi lokasi maraknya praktik pengeboman ikan di masa lalu, saat aturan dan pengawasan belum seketat sekarang.

Baca Juga :  Kasus Pemukulan di McD Sriwijaya Ditangani Polisi

“Zaman dulu, kasus pengeboman ikan sering terjadi. Para pelaku melakukannya karena motif ekonomi. Mereka ingin hasil tangkapan yang instan, langsung banyak dalam waktu singkat,” ungkapnya

Para pelaku sering mengebom di sekitar terumbu karang, karena lokasi tersebut kaya ikan. Namun, dampaknya justru menghancurkan habitat ikan itu sendiri, membuat ekosistem laut di sekitar hancur.

Kemudian pada awal tahun 2000-an, kasus destructive fishing sempat marak terjadi di Lombok Timur, terutama di wilayah Keruak, Jerowaru, dan Serewe. Dampaknya tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mencelakai para pelaku. Banyak ditemukan nelayan yang kehilangan tangan atau kaki akibat bom yang meledak sebelum dilempar ke laut.

Namun, kini kesadaran masyarakat Lombok Timur mulai meningkat, seiring dengan peningkatan pendidikan dan sumber daya manusia. “Saat ini kasus destructive fishing sudah jauh berkurang di Lombok Timur. Yang masih cukup tinggi justru di Teluk Saleh, Sumbawa,”jelasnya

Menurut Prof Jun penyuluhan dan edukasi menjadi langkah utama untuk mengurangi praktik destructive fishing. Edukasi tidak hanya ditujukan kepada pelaku, tetapi juga kepada konsumen.Konsumen perlu tahu bahwa ikan hasil pengeboman bisa berbahaya bagi kesehatan, karena mungkin terkontaminasi bahan kimia berbahaya dari bom.

Baca Juga :  Lobi TGB dan Delegasi Berhasil, Al-Azhar Perpanjang Mu'adalah

Ia juga menambahkan pentingnya mengenali ciri-ciri ikan hasil pengeboman. Ikan tersebut biasanya memiliki daging yang hancur dan tampak tidak segar.

“Jika masyarakat menolak membeli ikan hasil pengeboman, para pelaku akan kehilangan pasar. Ini salah satu cara efektif mengurangi kasus destructive fishing,” katanya.

Terpisah Ketua KNTI Lombok Timur, Dedi Sopian, juga menyoroti bahaya penggunaan potasium dalam pengeboman ikan. Disampaikan Potasium itu sangat berbahaya, tidak hanya ikan dewasa yang mati, tapi juga telur-telurnya. Akibatnya, regenerasi ikan terganggu, dan ekosistem laut menjadi lebih rusak.

“Penggunaan bom sebenarnya untuk ikan permukaan tetapi pada akhirnya karang juga akan hancur karena radiusnya jauh,” terangnya

Dedi menegaskan bahwa pelestarian ekosistem laut membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Selain penegakan hukum yang tegas, perlu ada upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar menjaga kelestarian laut untuk masa depan. (rat).