Destinasi Wisata Lombok Belum Terapkan SOP

ATRAKSI KESENIAN: Para peserta Bimtek Pengelolaan Atraksi Wisata Tradisi dan Seni Budaya yang digelar Kemenpar RI, di Hotel Lombok Plaza, dihibur dengan atraksi kesenian dari Desa Wisata Stanggor, Loteng, Senin (3/4) (SIGIT SETYO/RADAR LOMBOK)

MATARAM—Pulau Lombok kini telah menjelma sebagai daerah tujuan wisata yang populer, dan banyak dikunjungi para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Hanya saja, pengelolaan berbagai destinasinya masih belum menerapkan standard operating procedure (SOP), layaknya destinasi wisata berkelas dunia.

Kritikan tersebut disampaikan Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Tradisi dan Budaya, Kementerian Pariwisata RI, Tetty DS. Ariyanto, M.Par, usai melakukan tour wisata ke Pusat Kerajinan Gerabah di Desa Banyumulek, Pusat Kerajinan Tenun di Desa Sukarara, dan Pusat Penjualan Mutiara Lipco di Kota Mataram, bersama para peserta Bimbingan Teknis Pengelolaan Atraksi Wisata Tradisi dan Seni Budaya, yang digelar Kemanpar RI, Senin kemarin (3/4).

[postingan number=3 tag=”wisata”]

“Ketika berkunjung ke Pusat Kerajinan Tenun di Desa Sukarara, awalnya kami memang disambut meriah dengan kesenian Gendang Beleq. Namun usai itu, ketika guide lokal mengambil alih untuk menjelaskan berbagai informasi kepada para tamu. Ternyata penjelasan yang diberikan tidak memuaskan kami. Mereka (guide lokal) dalam penjelasannya cenderung terburu-buru dan seadanya, seolah-olah mereka ingin cepat selesai, dan para tamu segera belanja produk mereka (tenun),” kritik Tetty.

Demikian pula ketika Tetty dan rombongan menyambangi Pusat Kerajinan Gerabah di Desa Banyumulek. Destinasi wisata yang meliputi hampir seluruh wilayah Desa Banyumulek ini terlihat sepi, dan tidak ada hospitality (keramahan, red). “Jadi kedua destinasi wisata yang kami kunjungi ini terkesan lemah dalam penyambutan kepada para tamu yang datang, dan tidak menerapkan SOP layaknya sebuah destinasi wisata berkelas dunia,” ujar Tetty menyayangkan.

Namun Tetty sedikit terhibur, ketika dia dan rombongan berkunjung ke Pusat Penjualan Mutiara Lipco di Kota Mataram. “Baru kami datang, para pegawainya langsung mengucapkan salam, dan menyodorkan handuk kecil basah untuk setiap tamu yang berkunjung. Tak hanya itu, owner (pemilik) juga langsung keluar, dan mempersilahkan para tamu untuk masuk ke dalam ruangan galeri yang dingin dan segar karena ber AC, serta memberikan penjelasan detail terkait perhiasan mutiara, mulai dari proses hingga produk jadi,” puji Tetty seraya menyatakan, bahwa apa yang dilakukan manajemen Pusat Penjualan Mutiara Lipco kepada para tamunya, merupakan contoh pelayanan yang sangat baik, dan telah memenuhi SOP.

Karena itu, melalui kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Atraksi Wisata Tradisi dan Seni Budaya, yang diikuti oleh 30 peserta, berasal dari unsur Travel Agent (Asita), Pemandu Wisata (HPI), Kelompok Sadar Wisata, dan lainnya yang berlangsung di Hotel Lombok Plaza, selama dua hari, 2 – 3 April 2017, pihaknya menginginkan adanya SOP yang standar di masing-masing destinasi wisata di Lombok maupun Sumbawa.

Siapa yang bisa membuat SOP di destinasi wisata ini? “Tentu saja Pemerintah Provinsi NTB yang harus membuat SOP atau regulasinya. Kalau untuk travel agen atau guide, mereka adalah pelaksana di lapangan, yang harus bekerja dengan mengikuti SOP yang ada dan telah ditetapkan oleh pemerintah,” tutur Tetty.

Sedangkan untuk masyarakat pengrajin, maupun guide lokal di destinasi wisata, sambungnya, mereka harus terus dibimbing dan ditingkatkan lagi kemampuan SDM-nya. Sehingga ketika berhadapan dengan para tamu atau wisatawan, pelayanan yang diberikan tidak mengecewakan. “Pemerintah dalam hal ini harus memberikan pendampingan kepada komunitas, hingga mereka benar-benar professional,” saran Tetty.

Bimbingan tak hanya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan hospitality atau pelayanan saja, tetapi inovasi dan kreatifitasnya juga harus dibangkitkan. Sehingga produk layanan atau paket wisata yang disuguhkan tidak terkesan monoton. “Ingat, wisatawan yang berkunjung ke pusat kerajinan Tenun atau Gerabah itu tidak cuma untuk belanja saja. Terkadang mereka datang karena ingin melihat proses pembuatan kerajinan mulai dari awal hingga menjadi produk jadi,” beber Tetty.

Untuk itu, alangkah baiknya sebuah destinasi wisata seperti kerajinan tenun itu, para tamu diajak berkeliling untuk melihat proses memetik kapas di kebun, memintal kapas menjadi benang, pewarnaan, penenunan, hingga produk kain tenun itu jadi. Demikian pula kerajinan gerabah, perlihatkan proses dari awal pembuatan, hingga finishing.

Bahkan para tamu juga dilibatkan dalam proses produksi. Misalnya wisatawan dengan membayar Rp 50 ribu, mereka diberikan salah satu produk gerabah untuk di gambar dan diwarnai. Kalau jadi, gerabah itu boleh dibawa dan dimiliki tamu. “Hal-hal kecil seperti ini yang justeru akan membuat para tamu menjadi puas, dan merasa nyaman,” ulas Tetty.

Sementara Taufan Rahmadi, Anggota Tim Percepatan 10 Destinasi Unggulan, Kemenpar RI, yang enjadi narasumber kegiatan itu menyampaikan pentingnya mengetahui karakter masyarakat yang berdiam di kawasan sekitar pariwisata. “Untuk membuat sebuah destinasi wisata itu aman dan nyaman, termasuk gangguan dari masyarakat setempat, maka perlu diketahui lebih dahulu karakternya,” ujarnya.

“Seperti misalnya di Kawasan Mandalika, wisatawan akan dikejar-kejar oleh para pedagang asongan, sehingga tidak nyaman. Itu terjadi lantaran para pedagang asongan ini ingin secepatnya mendapatkan uang untuk membayar hutang di rentenir yang mereka pinjam. Karena itu, kami di Tim Percepatan membuat sebuah asosiasi untuk pedagang asongan Mandalika, yang jumlah anggotanya kini ada 300 pedagang. Jadi kalau ada apa-apa, maka tinggal memanggil koordinatornya saja. selain juga terus memberikan kesadaran akan pentingnya Sapta Pesona,” urai Taufan. (gt)