MATARAM — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTB mengumumkan hasil laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) untuk pasangan calon gubernur/calon wakil gubernur (Cagub/Cawagub) NTB, pada kontestasi pemilihan gubernur (Pilgub) NTB.
Hasilnya, pasangan nomor urut 3 Lalu Muhamad Iqbal – Indah Dhamayanti Putri (Iqbal-Dinda) menjadi Paslon penerima dana sumbangan terbesar, yaitu Rp 4,2 miliar lebih; disusul Paslon nomor urut 1 Sitti Rohmi Djalillah – HW Musyafirin (Rohmi-Firin) Rp 552 juta lebih; dan Paslon nomor urut 2 Zulkieflimansyah – HM Suhaili FT (Zul-Uhel) Rp 290 juta lebih.
Adapun rincian LPSDK yang diterima masing-masing Paslon, yaitu sebagai berikut; Paslon nomor urut 1 Sitti Rohmi Djalillah – HW Musyafirin (Rohmi-Firin): Sumbangan Pribadi Rp. 125.400.000, Sumbangan Parpol/Gabungan Rp. 0, Sumbangan Perseorangan Rp. 427.408.000, Sumbangan Badan Hukum Rp. 0, dengan Total Rp. 552.808.000.
Berikutnya Paslon nomor urut 2 Zulkieflimansyah – HM Suhaili FT (Zul-Uhel); Sumbangan Pribadi Rp. 135.550.000, Sumbangan Parpol/Gabungan Rp. 155.000.000, Sumbangan Perseorangan Rp. 0, Sumbangan Badan Hukum Rp. 0, dengan Total Rp. 290.550.000.
Sementara Paslon nomor urut 3 Lalu Muhamad Iqbal – Indah Dhamayanti Putri (Iqbal – Dinda); Sumbangan Pribadi: Rp. 3.445.000.000, Sumbangan Parpol/Gabungan: Rp. 0, Sumbangan Perseorangan Rp. 815.500.000, Sumbangan Badan Hukum Rp. 0, sehingga total sebanyak Rp. 4.260.500.000.
Terkait hal tersebut, Ketua KPU Provinsi NTB Muhammad Khuwailid mengingatkan agar semua calon mengutamakan prinsip transparansi dalam pengelolaan dana kampanye. Dengan pengumuman ini, masyarakat diharapkan lebih cerdas dalam menilai siapa yang layak memimpin daerah.
“Pengelolaan dana kampanye harus mengedepankan prinsip transparansi,” kata mantan Ketua Bawaslu NTB ini, Sabtu (26/10).
Diungkapkan, ketiga Paslon sudah menyampaikan LPSDK kepada KPU NTB, dimana sesuai aturan LPSDK itu disampaikan paling lambat pada tanggal 24 oktober 2024 lalu. “Penyampaian LPSDK sudah ditunaikan oleh Paslon,” terang Khuwailid.
Ditambahkan, pada akhir tahapan masa kampanye, Paslon nanti juga akan menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) kepada KPU. Apabila Paslon tidak menyampaikan LPPDK itu kepada KPU, tentu saja nanti ada sanksi, bisa berupa teguran hingga terberat diskualifikasi sebagai peserta di Pilkada.
Sebab itu lanjut Khuwailid, diharapkan para peserta di Pilkada melaporkan LPPDK tersebut, pada akhir masa kampanye. “Ada tiga jenis laporan dana kampanye yang harus disampaikan Paslon kepada KPU,” imbuhnya.
Lebih lanjut disampaikan, secara keseluruhan dana kampanye masing-masing calon dibatasi sebesar Rp 119 miliar. Apabila dana kampaye itu melebihi ketentuan, maka Paslon harus mengembalikan ke kas daerah. “Ada konsekuensinya apabila dibelanjakan,” tegas Khuwailid.
Disisi lain, seiring dengan semakin dekatnya pemungutan suara di Pilkada serentak 2024, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi NTB juga kembali mengingatkan kepada para calon kepala daerah (Cakada) dan seluruh jajaran tim pemenangan, untuk tidak melakukan praktik politik uang.
Komisioner Bawaslu Provinsi NTB, Suhardi menegaskan bahwa jika ada Paslon yang terbukti melakukan praktik politik uang, maka ada ancaman sanksi bisa berupa diskualifikasi atau pembatalan sebagai Paslon, hingga pidana penjara. “Kalau tim pemenangan melakukan (politik uang), sanksi bisa dipidana dan denda.
Karena politik uang adalah tindak pidana Pemilu,” kata mantan Komisioner KPU Lombok Barat ini.
Sebab itu, diharapkan para Paslon dan tim pemenangan tidak coba-coba melakukan praktik politik uang untuk memperoleh dukungan suara pemilih pada kontestasi di Pilgub NTB. “Kami ingatkan jangan sampai ada yang dipidana, maupun Paslon dicoret karena terbukti melanggar aturan,” tegasnya.
Dikatakan, politik uang menjadi persoalan serius yang tidak mudah untuk ditangani. Upaya Bawaslu dalam memberantas politik uang memang terkendala oleh banyak factor, diantaranya tataran nilai dalam demokrasi seolah-seolah dinilai tidak lengkap tanpa politik uang. “Praktik politik uang sudah menjadi rahasia umum,” ucapnya.
Sebab itu, dia menilai hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu dalam memberantas praktik politik uang tersebut. Karena antara pemberi dan penerima ada simbiosis mutualisme. Apalagi sekarang pemberi dan penerima bisa sama-sama terkena sanksi pidana. “Maka siapa yang mau melapor,” imbuhnya.
Disampaikan, dalam penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu berupa politik uang, adanya laporan yang masuk tidak perlu berlama-lama dibuktikan dalam persidangan di pengadilan. Namun dapat diputuskan melalui persidangan kecuarangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) di Bawaslu Provinsi.
Jadi jika ada temuan atau laporan, pihaknya bisa mensidangkan dan bisa memutuskan dengan mudah.
Sehingga pihaknya berharap Paslon dan tim pemenangan tidak mengabaikan sanksi terhadap praktik politik uang tersebut. “Yang berat ini kan sanksi administratif bagi Paslon bisa berupa diskualifikasi atau pembatalan sebagai peserta,” tegasnya. (yan)