Dalam Birokrasi, Pergantian Sekda Dinilai Wajar

Prof Zainal Asikin (DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Polemik adanya usulan pergantian Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB, HL Gita Ariadi terus bergulir beberapa pekan terakhir. Namun yang disayangkan, beberapa pihak justru mulai menarik persoalan ini ke ranah sentimen etnisitas dan politik identitas. Padahal, pergantian Sekda adalah suatu hal yang wajar terjadi ditubuh birokrasi pemerintah, dan sudah diatur mekanismenya.

Pandangan itu disampaikan Guru Besar Universitas Mataram (Unram), Prof Zainal Asikin, bahwa soal usulan pergantian Sekda Provinsi NTB dibawah kepemimpinan Gubernur, Dr H Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur, Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi), dinilai sudah mengerah ke isu sentimen etnisitas kesukuan dan politik identitas.

Menurutnya, pergantian Sekda sebetulnya tidak menjadi soal, selama pergantian itu dijalankan sesuai dengan mekanisme yang ada. Kerena pada prinsipnya penggantian pejabat itu dalam pemerintahan ada mekanismenya. Diantaranya ada mekanisme evaluasi kinerja dan seleksi. Sehingga kalau mekanismenya sesuai prosedur, tentu tidak masalah jika dilakukan pergantian.

“Dalam suatu pemerintahan, pergantian (pejabat) itu suatu hal yang wajar terjadi, selama pergantian dilakukan melalui evaluasi kinerja dan seleksi sesuai prosedur yang ada,” kata Prof Asikin kepada Radar Lombok, Rabu (9/2).

Untuk itu lanjut Prof Akisin, pihaknya menyayangkan polemik pergantian Sekda ini justru ditarik ke ranah kesukuan maupun etnik. Karena itu berpotensi menimbulkan gesekan antar suku maupun etnik jika dibiarkan. “Oleh sebab itu, persoalan kesukuan tidak perlu dibawa-bawa dalam penggantian jabatan, karena akan menimbulkan polarisasi etnik yang kurang baik,” ujarnya.

Ia melihat dengan adanya reaksi dari sejumlah tokoh masyarakat yang mencoba memberikan pembelaan terhadap Sekda Gita Ariadi, seharusnya tidak perlu dilakukan. Apalagi seperti diketahui belum lama ini mereka melakukan haering ke DPRD NTB, dalam menyikapi polemik munculnya surat pengusulan pergantian Sekda yang dilayangkan Gubernur NTB ke pemerintah pusat.

Hal ini menurutnya dapat menjadi preseden yang buruk dalam proses pergantian birokrasi di lingkup Pemprov NTB. “Etnis yang dibawa saya tidak setuju. Nanti sedikit-sedikit kita pakai lembaga adat ketika ada kadis diturunkan. Padahal pergantian Sekda itu regulasinya kan wewenang pusat atas usulan daerah. Tentu harus ada pertimbangan apa dan mengapa dilakukan atau diusulkan pengantian,” ujarnya.

“Jika tidak memenuhi mekanisme dan alasan, tentu usulan tidak akan diterima. Dan bagi saya kita serahkan saja menurut meknisme hukum yang berlaku. Tidak perlu ditarik-tarik ke ranah entitas etnis,” sambungnya.

Terlebih dalam proses pergantian Sekda sudah jelas ada dasar hukum yang digunakan. Tidak lantas kemudian dilakukan pengusulan pergantian tanpa didasari aturan atau mekanismenya yang ada. “Dasar hukum lengkapnya dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2018,” sebutnya.

Prof Akisin juga mengingkatkan bahwa dalam proses pergantian Sekda tidak lepas dari soal kinerja profesionalisme birokrasi, dan bukan masalah kesukuan. Apalagi jabatan Sekda ini bukan jabatan sebagai kepala suku. “Sekali lagi, tidak usah ditarik ke ranah etnik, atau suku. Karena ini persoalan kinerja profesionalisme pada level-level birokrasi. Jangan ditarik ke ranah suku karena Sekda bukan kepala suku. Itu nanti akan menimbulkan gesekan,” tegasnya.

Ia kemudian memberikan salah satu contoh, ketika dipilihnya Sekda sebelum Gita Ariadi, pada zaman kepemimpinan TGB Muhammad Zainul Majdi, dia memilih Sekda Rosiadi Sayuti. Padahal Rosiadi saat itu dari kalangan akademisi di Unram, dan bukan memiliki jabatan karier di birokrasi pemerintahan, tetapi dipilih menjadi Sekda.

“Dulu pun Sekda diangkat dan diberhentikan tidak melihat suku. Yang penting profesionalisme dan keahlian. Dulu Pak Rosiadi diangkat jadi Sekda, harusnya kaum birokrasi departemen dalam negeri tersinggung. Kenapa harus dari Unram. Padahal jabatan Sekda adalah jabatan karier. Kenapa karier orang kita pangkas dengan mendatangkan dari Unram. Itulah birokrasi berpikir pemerataan ketika itu, sehingga tidak menimbulkan friksi-friksi,” tuturnya.

Baca Juga :  Pembelian Tiket MotoGP Masih Minim

Sehingga untuk persoalan pengusulan pergantian Sekda yang saat ini sedang bergulir, hendaknya harus dipandang secara bijak dengan melihat aturan dan mekanisme dalam pergantian Sekda melalui proses yang profesional.

Jika hasil evaluasi menunjukkan kinerja yang kurang baik, maka tidak ada alasan kemudian dihalang-halangi dalam proses pergantian oleh Gubernur NTB. “Jika mekanisme sudah benar itu tidak ada masalah. Karena itu semua pihak harus menerima. Jika evaluasi menunjukkan kinerja kurang baik, wajar diganti. Yang tentu dalam proses penggantinya melalui mekanisme tim seleksi,” tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Kadri M. Saleh, juga berpandangan bahwa pergantian Sekda adalah hal yang biasa di tubuh birokrasi pemerintahan daerah. “Saya kira pergantian pejabat di daerah, termasuk Sekda, adalah hal yang biasa berdasarkan keinginan atau usulan gubernur. Meskipun proses pergantiannya berbeda prosedur dengan Kepala OPD,” katanya.

Ia juga menganggap dari kaca mata politik pergantian Sekda suatu hal wajar terjadi didalam birokrasi pemerintah. Meski selama ini dalam pergantian Sekda jarang terjadi, walaupun secara aturan itu diperbolehkan. “Hal yang wajar. Cuma kita saja mungkin tidak menganggap wajar, karena Sekda hanya satu di setiap daerah, dan jarang dilakukan pergantian. Padahal itu boleh, sepanjang procedural dan sesuai aturan,” terangnya.

Kadri juga menyayangkan jika polemik pergantian Sekda ini kemudian dikait-kaitkan dengan kesukuan atau etnis. Karena menurutnya, tidak ada hubungan antara jabatan birokrasi dengan suku. Sekda yang dicari adalah yang punya kapasitas dan bisa menerjemahkan visi kepala daerah.

“Tidak bagus kalau masalah jabatan di birokrasi digiring atau dikaitkan dengan isu etnik, karena berpotensi terjadinya konflik dan gesekan di level masyarakat. Tapi kita serahkan urusan birokrasi ini pada yang berwenang dan yang berhak, dalam hal ini Gubernur dan Wakil Gubernur,” tandasnya.

Terlebih dalam pergantian Sekda sudah ada regulasi yang memperbolehkan, sepanjang sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang ada. Meski pergantian dilakukan ditengah jalan masa jabatan, dimana biasanya pergantian Sekda dilakukan dengan alasan pensiun atau alasan persyaratan lain seperti pada batas usia. Tetapi hal ini tidak serta merta harus menjadi acuan. Karena tidak ada aturan yang melarang. “Jadi diperbolehkan dan tidak ada aturan yang melarang. Tentu pergantian atas pertimbangan tertentu dari kepala daerah. Dan proses pergantian pun ada prosedurnya,” tegasnya.

Lantas, apakah perlu kemudian Gubernur NTB menyampaikan keruang publik terkait dengan isu pergatian Sekda ini. Menurut Kadri tidak harus dilakukan, karena tanpa dijelaskan ke publik juga tidak jadi masalah. “Tanpa dijelaskan ke publik juga tidak apa-apa. Tapi kalau mau disampaikan juga akan lebih baik. Tapi setahu saya Pak Gub sudah menyampaikan lewat akun media sosialnya,” ucapnya.

Sedangkan Pengamat Politik UIN Mataram, Ihsan Hamid menilai wacana pergantian Sekda NTB Lalu Gita Ariadi oleh Gubernur NTB Zulkieflimasnyah, terlalu jauh jika dikaitkan untuk Pilkada 2024. Di mana seorang Sekda bisa mengamankan politik birokrasi. “Saya kira suatu hal yang jauh jika wacana pergantian Sekda ini dikaitkan dengan kepentingan Pilkada,” katanya.

Baca Juga :  Gubernur Sayangkan Tes Pramusim MotoGP Tak Digelar di Sirkuit Mandalika

Menurutnya, pergantian Sekda adalah suatu hal biasa dalam tubuh birokrasi. Itu sebagai bentuk penyegaran dan regenerasi di tubuh birokrasi. Sehingga tidak perlu wacana pergantian Sekda itu ditarik-tarik untuk kepentingan mengamankan posisi pihak tertentu. Apalagi dibentur-benturkan dengan kepentingan sukuisme. “Ini sangat tidak elok. Jika wacana ganti Sekda ini dibentur-benturkan dengan sukuisme,” paparnya.

Jika memang berdasarkan hasil evaluasi di tubuh birokrasi Pemprov NTB diperlukan pergantian Sekda, maka hal itu tidak perlu terlalu dianggap suatu hal istimewa. Karena memang jabatan Sekda itu bisa diganti kapan pun sesuai dengan kebutuhan dan penyegaran di birokrasi.

Lebih lanjut katab Ihsan, jika wacana pergantian Sekda dikaitkan dengan manuver kepentingan Pilkada NTB 2024, maka itu terlalu jauh. Pasalnya, jabatan Gubernur NTB akan dipegang selama setahun lebih oleh Penjabat Gubernur yang akan ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri.

Ia menilai dengan adanya Penjabat Gubernur itu, justru Parpol penguasa, yakni PDIP yang akan diuntungkan. Sebab, sangat disayangkan jika pergantian Sekda NTB itu harus diseret-seret isu sukuisme. Apalagi Ihsan pun melihat bahwa Sekda Lalu Gita tidak mempersoalkan jika memang dirinya dikehendaki untuk diganti. “Saya melihat Pak Sekda juga tidak ada persoalan jika ia diganti,” imbuhnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Unram Dr Saipul Hamdi menilai, pergantian sekda bisa dilakukan kapanpun. Itu dilakukan sesuai dengan kebutuhan birokrasi. Karena bagaimanapun, Sekda adalah leadership birokrasi yang bertanggung jawab terhadap gerak birokrasi.

Baginya, terlalu jauh jika pergantian Sekda itu harus dikaitkan dengan kepentingan suku yang ada di NTB. “Kan sudah ada juga aturan pergantian Sekda ini,” pungkasnya.

Terpisah, Anggota Komisi I DPRD NTB, H. Najamuddin Mustofa juga berpandangan bahwa Gubernur boleh mengajukan pengusulan pergantian Sekda, karena dianggap lebih mengetahui kinerja dari Sekda. “Pandangan saya, dia (gubernur) boleh mengganti (Sekda), karena dia yang mengetahui kinerjanya. Apalagi Sekda ini sebagai Ketua TAPD, jadi yang mengevaluasi Sekda ini adalah gubernur,” tandasnya.

Menurut politisi PAN asal Lombok Timur ini, pengusulan Sekda Provinsi adalah hak Gubernur. Jadi wajar kemudian kalau gubernur melakukan pergantian (Sekda) ditubuh birokrasi pemerintahannya. Apalagi Gubernur memiliki visi misi yang harus ditunaikan, dan ingin dianggap berhasil. Maka tidak salah ketika dalam mewujudkan visi misinya ingin dibantu oleh orang yang hebat ditubuh birokrasi. “Kalau tidak dievaluasi tidak hebat dong. Jadi tidak bisa kita dan saya sebagai anggota DPRD ikut cambur masalah ini. Kan dia user-nya,” ujar Najam, yang juga Ketua Badan Kehormatan DPRD NTB ini.

Dikatakan Najam, meski Komisi I DPRD NTB juga membidangi masalah pemerintahan dan Aparatur Sipil Negara (ASN), tetap tidak bisa ikut campur lebih dalam persoalan ini. Karena Gubernur memiliki kewenangan melakukan evaluasi kinerja para pejabat dibawahnya, termasuk Sekda. “Kita Komisi I katakan bahwa dia (Gubernur) punya ranah untuk evaluasi, karena dia yang merasakan paling dekat dengan pejabat. Baik soal ketidak hebatan maupun kehebatan masing-masing pejabat itu,” tuturnya.

Najam juga mengajak semua pihak untuk tidak terlalu jauh ikut campur. Karena pergantian Sekda ini ranah kepala daerah, dan pemerintah pusat yang menentukan. “Karena SK jabatan Sekda langsung dari Presiden. Maka orang lain tidak boleh terlalu jauh ikut campur. Apalagi organisasi-organisasi,” ujarnya. (sal/yan)

Komentar Anda