Cara Warga Kota Mataram Merayakan Lebaran Topat

Cara Warga Kota Mataram Merayakan Lebaran Topat
KETUPAT AGUNG : Pemangku Adat dan tokoh lainnya memanggul ketupat agung untuk dibawa kepanggung utama perayaan Lebaran Topat Minggu kemarin (3/7). (Zulfahmy/Radar Lombok)

Lebaran Topat  sudah menjadi tradisi tahunan masyarakat pulau Lombok terutama di Kota Mataram. Masyarakat di Kota Mataram memiliki cara  masing-masing dalam merayakan Lebaran Topat setelah puasa enam hari di  bulan Syawal ini.


ZULFAHMI–MATARAM


Dulu tradisi Lebaran Topat atau ketupat biasanya hanya dilaksanakan oleh para orang tua atau  atau tokoh agama yang melaksanakan puasa enam  hari pada bulan Syawal setelah puasa Ramadan. Puasa enam hari pada bulan Syawal dimulai pada tanggal 2 Syawal dan berakhir pada tanggal 7 Syawal. Puncaknya dilaksanakan lebaran kecil atau Lebaran Topat pada tanggal 8 Syawal.

Seiring perkembangan waktu Lebaran Topat kini sudah menjadi adat dan tradisi bagi masyarakat terutama  di Kota Mataram sehingga dirayakan dengan penuh kemeriahan. Bagi masyarakat Kota Mataram sebagaimana yang dituturkan oleh Pengemban Adat Sasak (Pembasak) Kota Mataram Sadarudin mengatakan, Lebaran Topat   lebarannya semua masyarakat yang kini sudah menjadi simbol dari kebahagian  yang sudah melaksanakan puasa Ramadan dan ditambah dengan puasa enam hari setelah bulan Syawal.” Lebaran Topat ini adalah puncak dari kebahagian masyarakat yang sudah berpuasa 30 hari bulan Ramadan dan enam hari pada bulan Syawal,” tuturnya Minggu kemarin (3/7).

Baca Juga :  Tingkah Siswa-Siswi Smp Saat Imunisasi Measles Rubella

Dalam merayakan kemenangan dan kebahagian setelah berpuasa, masyarakat dulunya membuat ketupat. Dimana ketupan itu melambangkan dari ketauhidan. Bahkan para Tetua dulu juga membuat ketupat agung yang dibuat dalam bentuk susunan tumpang tiga.

Sadarudin menjelaska makna dari ketupat agung tumpang tiga yang disajikan itu mengandung makna ketauhidan terhadap Allah SWT. Dimana tumpang yang pertama bermakna syariat, tumpang kedua bermakna tariqat atau hakikat, sedangkan susunan atau tumpang yang paling tinggi atau  yang ketiga bermakna makrifat, yakni pengenalan ketauhidan yang paling tinggi.”  Tumpang tiga ini memaknakan syariat, hakikat dan makrifat,” jelasnya.

Sementara itu untuk warna kain yang dipakai sebagai penutup, dimana kain berwarna biru melambangkan sikap dari pengayom pemerintah yang memimpin di Kota Mataram. Kain berwarna hitam   melambangkan bahwa hidup ini harus berbudaya dan berseni serta bertradisi. Sedangkan kain warna putih  melambangkan saka muslim yang menjadi simbol agama. Dimana dengan agama, hidup menjadi teratur dan terarah. Sedangkan dengan seni hidup menjadi indah. Dengan gabungan warna ini diharapkan masyarakat Kota Mataram mendapatkan kemulian dan keberkahan dari Allah SWT.

Baca Juga :  Jhon “Kursi Roda”, Penyandang Disabilitas yang Berjiwa Sosial Tinggi

Sementara itu bagi jamaah Tariqat Muktabarah Darul Falah Pagutan Kota Mataram mempunyai cara tersendiri juga dalam merayakan Lebaran Topat.

Bagi  jamaah setempat dimaknai  kesempatan untuk  bersilaturrahim dengan para guru dan sekaligus mengenang wafatnya al Mursyid Syaikh Abhar Muhyyiddin pendiri Ponpes Darul Falah Pagutan Kota Mataram yang juga pendiri dari Tariqat Muktabarah Darul Falah Pagutan. Seperti yang dilakukan Minggu kemarin (3/7), jamaah yan dipimpin oleh TGH Mustiadi Abhar bersama para tuan guru yang lainnya menggelar berbagai kegiatan diantarnya istigosah, salat  tasbih, pengajian dan menggelar doa bersama.

Ribuan jamaah tampak menghadiri peringatan haul syaikh Abhar Muhyyiddin yang ke 24 tahun yang digelar bertepata dengan pelaksanaan Lebaran Topat setiap tahunnya. (*)

Komentar Anda