MATARAM — Sebanyak 15 ribu ton beras impor dari Myanmar dan Pakistan, telah masuk ke Provinsi NTB, pada November 2024 ini. Wakil Pimpinan Wilayah Bulog NTB, Musazdin Said mengatakan beras impor ini demi menjaga kestabilan stok pangan dalam daerah.
“Kita perlu mendatangkan (beras impor) untuk mengantisipasi ketahanan stok pangan,” kata Said, Jumat kemarin (1/11).
Dengan adanya impor beras ini, diharapkan cadangan beras di NTB dapat terus aman hingga musim panen tiba, yang diperkirakan berlangsung pada April 2025 mendatang.
Disampaikan Said, saat ini stok beras di NTB sebanyak 34.700 ton. Jumlah ini diproyeksikan hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan hingga empat bulan ke depan. Namun dengan kondisi musim kemarau panjang yang menyebabkan mundurnya musim tanam, impor beras menjadi langkah antisipasi penting untuk menjaga ketahanan pangan di wilayah NTB, serta mendukung provinsi sekitar seperti Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengalami defisit beras.
“Artinya, bukan untuk wilayah NTB saja, tetapi memang untuk mendukung provinsi terdekat seperti Bali dan NTT. Jadi tidak saja mengcover wilayah NTB, tetapi juga menyuplai provinsi lainnya yang defisit beras,” bebernya.
Rencana impor ini merupakan arahan dari Bulog Pusat, yang saat ini masih dalam tahap persiapan. Said menambahkan bahwa pihaknya masih menunggu instruksi resmi melalui pemberitahuan atau telegram dari kantor pusat, untuk memastikan waktu dan teknis pelaksanaan impor.
“Tapi memang kepastiannya nanti ketika ada dari kantor pusat. Kita akan menerima semacam telegram,” terangnya.
Selain mengandalkan impor, Bulog NTB juga terus melakukan penyerapan gabah petani lokal untuk menjaga ketersediaan stok. Hingga Oktober 2024, total penyerapan gabah setara beras di NTB mencapai 63,31 ribu ton, yang disimpan di 16 gudang Bulog di seluruh wilayah NTB.
Saat ini, penyerapan gabah difokuskan pada komersial karena harga gabah yang tinggi, yakni sekitar Rp8.000 per kg, lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp7.400 per kg.
Musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan mundurnya musim tanam yang biasanya dimulai pada Oktober-November. Akibatnya, musim panen di NTB diperkirakan baru akan berlangsung sekitar April 2025, bergeser dari perkiraan awal.
“Biasanya April sudah mulai panen, tapi karena kekeringan, bisa saja mundur,” tambah Musazdin.
Untuk meredam kenaikan harga beras di pasaran, Bulog NTB juga telah meningkatkan distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Biasanya, distribusi beras SPHP mencapai 600-700 ton per bulan, namun kini ditingkatkan menjadi 1.300 ton per bulan demi menjangkau seluruh wilayah NTB.
“Kami tingkatkan volume menjadi 1.300 ton per bulan di seluruh NTB. Beras SPHP ini kita jual di bawah harga pasar di kios dan pemukiman masyarakat NTB,” tandasnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB, Muhamad Taufiek Hidayat, merespons rencana impor beras oleh Bulog sebanyak 15 ribu ton dari Myanmar dan Pakistan. Produksi gabah di NTB memang meningkat, tetapi hasil panen terus mengalir ke luar daerah, yang menyebabkan stok yang tersisa di NTB lebih rendah dari jumlah kebutuhan lokal. “Sehingga stok kita atau yang tersisa kurang dari jumlah kebutuhan kita,” ujarnya.
Situasi ini menjadi alasan Distanbun NTB mengusulkan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang Cadangan Pangan Daerah. Perda ini diusulkan untuk meratifikasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, khususnya amanat pasal 23 dan pasal 27 ayat 3, yang mengatur ketersediaan pangan daerah agar stok beras tetap terjaga.
Menurut Taufiek, dengan adanya Perda tersebut, stok beras NTB akan lebih terkendali. Perda ini diharapkan akan menghapus kebutuhan akan aturan pembatasan hasil panen ke luar daerah yang selama ini diatur melalui Peraturan Gubernur (Pergub).
Namun, ia mengakui bahwa Pergub tersebut kurang efektif dalam membendung aliran gabah ke luar NTB. “Kami harap Perda Cadangan Pangan Daerah ini bisa menjadi solusi agar stok beras NTB tetap stabil tanpa perlu pembatasan seperti yang selama ini diupayakan,” tambah Taufiek. (rat)