
MATARAM – Penyelenggaraan balap motocross grand prix (MXGP) seri ke 11 di Sirkuit Selaparang, Rembiga Kota Mataram diklaim sukses dan menghadirkan puluhan ribu penonton. Dibalik klaim tersebut, Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Mataram menemukan tiket MXGP tanpa porporasi dari pemerintah. Kondisi ini disesalkan BKD karena tiket yang dijual harus diporporasi oleh pemerintah daerah. “Tiketnya tidak diporporasi itu, ngelapor aja tidak ada. Apalagi tiket itu masalahnya,” ujar Kepala Bidang Pelayanan Penagihan dan Penyuluhan BKD Kota Mataram, Ahmad Amrin, Kamis (4/6).
Sesuai ketentuan, tiket pertunjukan seperti musik dan lainnya harus diporporasi oleh pemerintah daerah. Porporasi ini berkaitan penerimaan pajak daerah yang harus disetorkan ke pemerintah daerah. Tanpa porporasi, menjadi kendala bagi pemerintah daerah untuk mengetahui potensi penerimaan pajak daerah. Sementara dari gelaran MXGP, setiap tiket yang terjual ada kewajiban membayar pajak kepada Pemkot Mataram. Tiket MXGP ini masuk kategori pajak hiburan sebesar 10 persen dari harga tiket. Sedangkan harga tiket MXGP Lombok 2024 dijual seharga Rp 100 ribu untuk kelas festival dan Rp 350 ribu untuk kursi tribun.
Sementara tiket VIP dijual di angka Rp 4 juta per orang dengan fasilitas masuk paddock, ruangan ber-AC, juga makanan dan minuman di ruang VIP.
Menyikapi tiket MXGP yang terjual ini, BKD mengaku bingung dan segera mengagendakan pemanggilan terhadap penyelenggaraan MXGP. “Kita sedang siapkan surat untuk pemanggilan berhubung penyelenggara belum ada melapor. Apalagi soal tiket, kita sama sekali tidak diberi tahu oleh penyelenggara,” katanya.
BKD juga kebingungan menurunkan petugas melakukan pengawasan di lokasi penyelenggaraan. BKD merasa tidak punya dasar untuk menugaskan petugas. “Tapi kita pakai jalan tengah ada beberapa teman yang kita tugaskan memantau,” ungkapnya.
Soal klaim penyelenggara yang menyebut penonton MXGP mencapai 30 ribu orang. Tetapi tiket yang terjual sebanyak 17 ribu. Soal klaim ini, Amrin menilainya hal yang biasa. “Bisa-bisa aja dia klaim. Kenyataan waktu kita penungguan di tahun pertama penyelenggaraan itu sekitar 8 ribu terjual tiketnya,” terangnya.
Tiket yang tidak diporporasi akan menyulitkan BKD menagih pajak hiburan dari penyelenggaraan MXGP. Karena itu penyelenggara diminta koperatif untuk datang menjelaskan kepada BKD. “Kita mesti jelaskan tentang pajak ini. Kalau merasa tidak perlu bisa diancam dengan perda kita. Bisa itu kita kenakan empat kali lipat dari pokok pajaknya kalau tidak ada itikad baiknya,” jelasnya.
Tiket tanpa porporasi disebutnya bukan soal melanggar atau tidaknya. Tetapi sebelum kegiatan berlangsung harusnya melapor dulu ke pemerintah daerah. Lampiran dari BKD juga menjadi dasar untuk mengurus izin keramaian di kepolisian. “Target mereka kan harus jelas dulu tergambar dari tiket yang akan dilaporkan ke kita. Menampung tidak tempatnya dan sebagainya itu dilihat semua dari situ, baru kepolisian mengeluarkan izin keramaian. Itu komitmen kita sebenarnya dengan kepolisian di acara-acara hiburan yang kita gelar nanti dulu dia lapor ke BKD baru dia dapat izin keramaian,” tegasnya.
Dengan tiket yang tanpa porporasi, perhitungan soal pajak hiburan yang akan diterima Kota Mataram bisa jadi rancu. Karena penyelenggara tidak patuh dengan aturan. “Anda istilahkan sendiri lah. Tapi nanti kita punya data. Kalau data awal kami jauh di bawah itu (17 ribu tiket yang terjual),” pungkasnya.
Project Director MXGP Indonesia, Diaz Rahmah Irhani yang dikonfirmasi via WhatsApp oleh koran ini belum memberikan jawaban. Sedangkan Media Director MXGP Indonesia, Baiq Yulia Fatmawati sebelumnya mengatakan, target penonton MXGP tercapai yang disebut ramai untuk hiburan masyarakat NTB. “Tapi tiket terjual yang tidak tercapai. Penjualannya itu sampai 80 persen,” katanya. (gal)