BI Pastikan Uang Logam Pecahan Rp 50 Masih Berlaku

EDUKASI: Pengunjung dari anak-anak saat melihat langsung edukasi uang logam yang ada di BI NTB di Mataram, Ahad (2/10) (LUKMAN HAKIM/RADAR LOMBOK)

MATARAM—Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyelenggarakan kegiatan Gempita Peduli Uang Rupiah (GEMPUR) Logam pada tanggal 1 dan 2 Oktober 2016 di Monumen Bumi Gora Udayana, Mataram. Dalam kegaitan itu, Kepala Perwakilan BI NTB, Prijono menegaskan, uang logam pecahan Rp 50 hingga Rp 1000 masih sah dijadikan alat transaksi.

“Uang logam koin pecahan Rp50 sampai Rp1000 itu masih berlaku dan dapat digunakansebagai alat tukar dalam setiap transaksi di Indonesia,” kata Prijono di Mataram, Senin (3/10).

Dikatakan, kegiatan GEMPUR Logam adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai nilai mata uang logam Rupiah, terutama di Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi NTB.

Prijono mengajak masyarakat Kota Mataram dan Provinsi NTB pada umumnya untuk lebih peduli dan menghargai uang logam Rupiah sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan masih berlaku. Karena bila bukan masyarakat Indonesia siapa lagi yang menghargai Rupiah sebagai simbol kedaulatan bangsa.

Kegiatan GEMPUR Logam dilaksanakan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa uang logam Rupiah pecahan Rp50, Rp100, Rp200, Rp500, dan Rp1.000 masih berlaku dan dapat digunakan sebagai alat tukar yang sah dalam setiap transaksi di Republik Indonesia.

Selain sosialisasi mengenai uang logam Rupiah BI NTB juga melakukan sosialisasi ciri keaslian uang rupiah (CIKUR) dan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk memperkaya informasi dan mendorong masyarakat untuk lebih peduli dengan uang Rupiah sekaligus mendorong masyarakat untuk mengadopsi layanan keuangan non tunai yang lebih efektif dan efisien.

Baca Juga :  Paska Ditutup, BI Pantau Money Changer Tak Berizin

Selain sosialisasi dan edukasi, bentuk nyata dalam membangun kepedulian akan nilai uang logam Rupiah adalah dengan membuka layanan penukaran uang logam Rupiah bagi masyarakat Kota Mataram. Dengan menukar uang logam Rupiah dengan uang kertas Rupiah secara langsung, masyarakat dapat mengetahui bahwa uang logam masih berlaku dan memiliki nilai.

Bank Indonesia memiliki peran dan fungsi otoritas dengan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, salah satunya dalam hal pengelolaan uang Rupiah yang menjadi alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. Hal ini tercantum dan diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sedangkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dijelaskan bahwa macam uang Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.

Secara statistik, dalam satu dasawarsa terakhir secara nasional, BI telah mengeluarkan uang logam (outflow) senilai Rp6 Triliun, namun jumlah yang kembali ke Bank Indonesia (inflow) hanya senilai Rp900 Miliar atau hanya sebesar 15 persen.

Bahkan statistik tersebut terus menunjukan penurunan. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri, sepanjang tahun 2016, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang logam senilai Rp3,3 Miliar,  sedangkan uang logam yang kembali hanya senilai Rp230 Juta atau hanya sebesar 7 persen.

Baca Juga :  BI Terima Penukaran Uang Logam Pecahan Kecil

Sedikitnya jumlah nilai uang logam yang kembali ke Bank Indonesia atau inflow pada dasarnya mencerminkan pola masyarakat Indonesia dalam menggunakan uang logam Rupiah.

Dengan nilai nominal dan kekuatan nilai tukar yang lebih kecil dibandingkan uang kertas, masyarakat cenderung mengabaikan uang logam sebagai alat pembayaran. Sebagai contoh, beberapa pasar modern memberikan uang kembalian  dengan nilai kecil tidak menggunakan alat pembayaran yang sah seperti menggunakan permen.

Contoh yang lebih ekstrim, dalam lapisan masyarakat tertentu di beberapa daerah beredar informasi bahwa uang logam pecahan kecil sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran.

Hal ini tentu perlu membutuhkan perhatian khusus, mengingat biaya produksi uang yang sangat tinggi dan lebih jauh peran uang Rupiah berapapun nilainya sebagai alat pembayaran yang sah dan menjadi simbol kedaulatan bangsa.

Jika pola perilaku masyarakat dalam memperlakukan uang logam saat ini terus bertahan, maka Bank Indonesia akan terus melakukan produksi uang logam tanpa dapat mengoptimalkan efisiensi. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan produksi uang logam tidak sebanding dengan fungsinya sebagai alat pembayaran. (luk)

Komentar Anda