Belum Ada Jurus Jitu, Ancam Kunjungan Wisatawan

MENUMPUK: Penumpukan sampah di Gili Trawangan terus menggunung setiap hari pasca tak diangkut petugas.( HERY MAHARDIKA/RADAR LOMBOK)

Persoalan sampah di Gili Meno, Air dan Trawangan (Matra) belum jua tuntas. Setelah pergi masalah yang satu, muncul lagi masalah baru. Sehingga persoalan sampah di Gili Matra belum menemukan titik temu dan masih menjadi antiklimaks.


PERSOALAN sampah di Gili Matra, khususnya Trawangan menjadi ternding topik belakangan ini. Penangannya amburadul pasca penangkapan tiga orang juru pungut biaya operasional sampah yang disebut kemudian sebagai pungutan liar (pungli). Masalah ini sekaligus membuka masalah baru soal sampah di objek wisata dunia itu.

Sebenarnya, pengelolaan sampah yang ada di Gili Trawangan Desa Gili Indah Kecamatan Pemenang sudah berlaku hampir 24 tahun. Pengelolaan sampah yang dilakukan warga setempat, berawal ketika para pengusaha melihat tumpukan sampah yang ada di gili tidak ada yang mengelola. Tidak ingin mengganggu kenyamanan para tamu, sehingga pihak pengusaha meminta masyarakat untuk dikelola dengan membentuk kelompok masyarakat peduli lingkungan (KMPL, nama dulu). “Itu yang dibentuk atas inisiatif para pengusaha yang ada Gili Trawangan sekitar tahun 1993 atau 1995. Lombok Utara masih bergabung dengan Lombok Barat,” ungkap Kades Gili Indah Taufik kepada Radar Lombok.

[postingan number=3 tag=”lapsusKLU”]

Lebih jauh diungkapkan, kemudian pada saat itu kelompok yang dibentuk terbentur dengan biaya untuk operasional pengangkutan sampah. Atas kondisi tersebut, para pengusaha sepakat membiayainya. Setelah biaya operasional aman, baru selanjutnya mengenai tempat pembuangan sampah, jika membuang ke darat pada saat itu sangat sulit. Sebab Kabupaten Lombok Utara belum berpisah dengan Lombok Barat. “Akhirnya, ada pengusaha pertama (ikon pengusaha) di gili bernama Zainal Tayib memberikan (pinjam) lahan untuk membuang sampah seluas 22 are. Itulah awal mulanya berjalan sampai seterusnya,” jelasnya pada waktu ia belum menjadi Kades.

Khusus, pengeluaran pembiayan operasional murni dari keinginan masyarakat sebagai bentuk sumbangsih kepada petugas yang mengangkut sampah. Diakui, bahwa pada saat itu pemungutan itu dilakukan atas dasar kesepakatan secara lisan, tidak ada secara tertulis. “Kalau kami bilang pungli, para pengusaha memberikan dengan ikhlas dan tidak ada unsur paksaan. Dan pada saat itu pemerintah daerah, pemerintah desa, dan pengusaha hadir semuanya,” tegasnya.

Baru, sekitar tahun 2010 atau 2012 setelah Lombok Utara berpisah dengan Lombok Barat, sempat menjadi masalah adanya indikasi pungli dan tidak boleh lagi mengangkut sampah. Dan akhirnya masyarakat yang mengangkut ini berhenti melakukan pengangkutan sampah, termasuk juga satuan keamanan pulau. Pada waktu itu, tidak boleh ada lagi pengangkutan sampah. Sehingga masyarakat menjual daya dukung seperti cidomo (bukan sumbangan pemerintah) untuk menanggulangi pembiayaan operasional. Karen, pengusaha tidak boleh lagi memberikan untuk operasional pengangkut sampah. Lalu, selanjutnya dengan kondisi seperti itu semua armada dijual. “Kemudian pada waktu itu diambil alih oleh pemerintah, baru sekitar dua minggu lebih diangkut menggunakan boat. Tapi tidak sanggup karena volume sampah cukup banyak. Pengangkutan sampah ke darat hanya mampu dibawa dua ton, sedangkan sampah ada enam ton, sehingga berjejeran sampahnya di pinggir jalan,” terangnya.

Baca Juga :  Usulan Ditolak, Camat Pratim Ngeluh

Dikatakan, waktu pemerintah Bupati Lombok Utara Djohan Syamsu kembali menyuruh FKMPL (Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Lingkungan) mengelola sampah. Namun, kelompok sudah tidak ada armada. Pemerintah daerah kemudian memberikan cidomo dongol dua unit sekaligus kudanya sebagai armada pengangkutan sampah. Sampah dibuah ke tanah milik H Arsan, namun kemudian tak diizinkan. Muncul lagi persoalan baru, sehingga pemerintah daerah turun tangan untuk melobi pemilih lahan. “Di sana terjadi kesepakatan antara pemerintah daerah dengan pemilik lahan untuk menyewa lahan kurang lebih sekitar Rp 7 juta per bulan. Sehingga itu berjalan terus tidak ada mancet,’’ tandasnya.

Belakangan ini, muncul lagi persoalan baru pasca ditangkapnya tiga orang juru pungut oleh tim Saber Pungli NTB. karenanya, warga tidak lagi berani mengelola sampah mengingat kosongnya regulasi juga. Atas persoalan itu, pihaknya sudah menyampaikan ke Pemkab Lombok Utara. Dari hasil pertemuan, bupati memintah kepada pihaknya untuk kembali mengangkut sampah, dan khusus untuk pembiayan operasional dalam sebulan ini akan ditanggung pemerintah daerah. “Kalau masalah biaya, untuk satu bulan nanti dari pemkab mencarikan biayanya. Setelah itu, kami tidak tahu apakah ada regulasi atau tidak,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Dusun Gili Trawangan H. Lukman menyampaikan, pungutan biaya operasional sampah ini sudah berjalan sejak ia belum menjadi kepala dusun. Masing-masing masyarakat melakukan pungutan ke para pengusaha untuk mengangkut sampah pengusaha. Sejak itu, para pengusaha menyarankan untuk membuat pelayanan sistem satu pintu di dusun. Setelah dibentuk, ia memperkerjakan lima orang termasuk diriya yang berjalan mengambil iuran ke para pengusaha. “Iuran yang dikeluarkan berdasarkan kesepakatan para pengusaha,” ungkapnya.

Dari iuran tersebut, ia berhasil mendapatkan pungutan sebesar Rp 200 juta yang dialokasikan ke tiga bidang, yaitu pengelolaan sampah sebesar Rp 105 juta per bulan, pendidikan mulai tingkat SD, SMP, dan MTS yang diberikan kepada guru honorer sebanyak 30 orang lebih disisihkan Rp 27 juta per bulan, dan security sebesar Rp 40 juta kepada 24 orang tenaga keamanan. “Dan sisanya Rp 20 juta kembali ke dusun untuk honor para pekerja yang menarik iuran. Sedangkan, masukan ke desa tidak ada,” jelasnya.

Baca Juga :  Sampah Sungai Jadi Barang Bernilai Ekonomis

Dalam penarikan sampah ini, pihaknya memiliki kriteria sesuai kondisi bangunan para pengusaha mulai dari kisaran Rp 50 ribu hingga Rp 3 juta. “Jumlah pengusaha yang mengeluarkan iuran disini mencapai 500 bangunan lebih,” terangnya.

Ia menegaskan, pihak dusun hanya sekedar menyalurkan dari para pengusaha ke masing-masing bidang. Dan iuran ini sudah berlaku sejak lama, jika pun ini termasuk pungutan liar kenapa pemerintah daerah dan desa berdiam diri tidak menegur. “Semua itu sudah ada laporan berapa pengeluaran per bulannya,” tegasnya.

Khususnya untuk hasil pungutan yang diperoleh tergantung dari kondisi para pengusaha, kadang ada juga para pengusaha yang menunggak. Sehingga hasil iuran perbulan tidak mesti Rp 200 juta, kadang dari hasil tersebut. Diakui, bahwa ini tidak pernah ada peraturan khusus, hanya saja dibuatkan kesepakatan, sehingga ketika ada oknum pengusaha yang melaporkan tersebut membuatnya sedikit kecewa. “Kita sangat sayangkan oknum pengusaha yang melaporkan, padahal sudah ada kesepakatan. Dan pekerja yang dilaporkan orang yang tidak tahu apa-apa itu yang dibawa. Tiba-tiba mereka dibawa, kondisi meraka sekarang sakit,” tandasnya.

Ketua Komisi II DPRD Lombok Utara Tusen Lashima menyayangkan, pungutan ini dibiarkan cukup lama. Persoalan ini sudah berjalan lama dan tidak ada persoalan apa-apa. “Saya pikir pemungutan ini sudah ada perlindungannya dari dulu, tapi setelah OTT baru saya kaget. Ternyata belum ada, jadi selama ini dibiarkan,” katanya.

Terkait tindakan tim Saber Pungli NTB, menurutnya Tusen memang harus ditindak jika tidak ada dasar hukumnya. Namun, ketika melihat fungsi kemanusiaan dan lingkungan tentu mereka bekerja sukarela harus ada kontribusinya. ‘’Kasihan masyaarakat yang berjuang tapi mereka tertangkap. Semestinya pemerintah daerah harus bertindak melindungi mereka. Ini menjadi teguran kepada pemerintah daerah dari tim saber pungli yang tidak protek (lindungi) warganya,” tegasnya.

Dengan persoalan penangan sampah ini, tentu sangat berimbas terhadap objek wisata sebagai sektor utama daerah ini. Padahal, masalah sudah kelihatan namun hal kecil ini tidak bisa diselesaikan pemerintah daerah. “Masak penangan sampah tidak bisa diselesaikaan,” sindirnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Tim Saber Pungli NTB Ibnu Salim menyatakan, penanganan kasus pungli tetap berjalan dan saat ini pihak kepolisian tengah melakukan pendalaman. “Soal OTT gili masih lanjut pendalaman,” katanya singkat. (HERY MAHARDIKA/RADAR LOMBOK)

Komentar Anda