Belanja RSUP NTB Dipertanyakan, Dokter Jack Persilakan Audit

RSUP NTB: Tampak bangunan Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) NTB pada malam hari yang megah dan menjulang tinggi, dilihat dari seberang jalan raya. (DOK)

MATARAM — Direktur Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) NTB, dr Lalu Herman Mahaputra, buka suara terkait sorotan terhadap kelebihan belanja RSUP NTB sebesar Rp 193 miliar, yang menjadi perhatian pihak Legislatif.

Menurutnya, kelebihan belanja ini bukan disebabkan oleh kesalahan perencanaan, melainkan akibat sistem pengelolaan yang sudah berjalan.
Dokter Jack, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa sistem belanja di RSUP NTB memungkinkan adanya utang dalam pengadaan barang. Barang seperti obat-obatan dibeli terlebih dahulu, sementara perencanaan dan pembayaran dilakukan kemudian sesuai dengan ketersediaan dana.

“Jadi kita belanja dulu, baru RSUP masukin perencanaan. Misalnya kita beli obat amoxilin 1000 biji, ternyata yang terpakai 500. Maka sisanya yang 500 itu yang dianggap berlebihan,” ujar Dokter Jack.
Menurutnya sistem ini diperbolehkan sesuai regulasi, karena barang yang dibeli memang tersedia dan tidak fiktif. Bahkan pihaknya justru ingin diaudit agar transparansi lebih jelas, dan pemerintah provinsi memahami besaran subsidi yang seharusnya diberikan kepada RSUP NTB.

“Senang saya kalau diaudit. Supaya Pemprov tahu kewajibannya untuk membayar ini. Tidak masalah, supaya kita tahu berapa Pemprov mensubsidi. Kalau tidak begitu, kita tidak tahu,” tegas Dokter Jack
Terkait efisiensi anggaran, Dokter Jack menegaskan bahwa RSUP NTB selama ini tidak menerima subsidi dari Pemprov NTB. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), alokasi anggaran untuk RSUP hanya mencakup gaji pegawai, itupun terbatas karena komposisi tenaga kerja di rumah sakit ini sepertiga adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan operasional, RSUP NTB harus mencari alternatif pembiayaan, termasuk belanja terlebih dahulu sebelum penganggaran disetujui.
“Bagaimana tidak berutang? Kami dikasih anggaran untuk bayar listrik hanya Rp 600 juta per bulan, padahal kebutuhannya Rp 1 miliar. Kalau dikalikan 11 bulan, artinya ada kekurangan Rp 11,4 miliar. Itu belum termasuk kebutuhan lain seperti obat-obatan dan bahan medis habis pakai (BHP),” jelasnya.

RSUP NTB juga memiliki utang karena masih ada klaim yang belum dibayarkan oleh BPJS Kesehatan, serta kewajiban cicilan ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Akibatnya, meskipun pemasukan RSUP pada 2024 mencapai rata-rata Rp 47 miliar per bulan melampaui target awal Rp 12 miliar dan target revisi Rp 25 miliar utang tetap ada karena dana digunakan untuk pembayaran lain yang mendesak.

“Target pemasukan tercapai kalau semua utang BPJS sudah dibayar. Tapi sekarang masih ada yang pending, jadi belum terlihat,” katanya.

Dokter Jack juga menyayangkan cara anggota DPRD NTB memahami laporan keuangan RSUP NTB. Ia menilai bahwa kritik terhadap kelebihan belanja seharusnya lebih komprehensif, bukan hanya melihat angka utang tanpa mempertimbangkan kondisi operasional rumah sakit.
“Tidak ada masalah, makanya saya ketawa saja. Mungkin cara memahami kita berbeda. Kita sudah kasih catatan lengkap, sekarang tim kami sedang di Bappeda,” ungkapnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi V DPRD NTB, Indra Jaya Usman (IJU), menyoroti membengkaknya belanja rumah sakit yang menjadi utang pada tahun 2024. Ia menilai, utang sebesar Rp 193 miliar ini seharusnya tidak terjadi karena tidak masuk dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) RSUP NTB.
“Utang ini ditengarai sebagai kelebihan belanja, karena tidak ada dalam RBA 2024. Jangan sampai ini menjadi kebiasaan yang terus berulang,” ujar IJU.

Ketua Fraksi Partai Demokrat itu meminta agar Inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit khusus, agar kejelasan pengelolaan anggaran RSUP NTB bisa dipertanggungjawabkan.
“Jangan hanya audit yang dilakukan untuk melegalkan utang agar bisa dibayar dalam APBD. Ini harus ada pemeriksaan yang lebih dalam,” tegasnya.

IJU juga mengkhawatirkan bahwa utang yang sebagian besar berasal dari pengadaan obat-obatan dan bahan medis habis pakai dapat membuka celah bagi praktik fraud dalam pengelolaan keuangan rumah sakit.
Menurut IJU, belanja rumah sakit seharusnya bisa direncanakan lebih baik agar tidak terus-menerus menumpuk sebagai utang.

Apalagi, pola seperti ini sudah terjadi sejak 2023, ketika utang RSUP NTB masih Rp 38 miliar, tetapi terus meningkat hingga Rp 193 miliar pada 2024.
“Barang habis pakai seperti ini sulit diaudit karena sifatnya tidak bertahan lama. Jangan sampai ini seperti kasus kelebihan neraca PDAM yang selalu ditutup dengan alasan pipa bocor,” sindirnya. (rat)