Bea Cukai: Harga Rokok Jadi Rp 50 Ribu Kabar Palsu

MATARAM – Wacana pemerintah pusat menaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu perbungkusnya tak hanya mendapat penolakan dari petani tembakau, namun juga anggota DPR RI Komisi XI daerah pemilihan NTB, H  Wilgo Zainar.

Dengan tegas Wilgo yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi NTB ini mengaku tidak sependapat dengan wacana kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat. "Saya tidak sependapat dengan wacana ini jika melihat dari aspek penerimaan negara, petani dan pertanian khususnya tembakau Virginia kita salah satu yg terbaik di dunia," kata Wilgo Zainar kepada Radar Lombok Senin kemarin (22/8)

Menurut Wilgo, bila harga rokok naik maka otomatis volume pembelian rokok akan menurun secara drastis. Produksi rokok juga pasti akan menyesuaikan turun. Bila produksi turun maka tentu industri rokok akan mengurangi jumlah karyawannya dan juga pembelian tembakau petani.

Selain itu sudah tentu multiplier effect ini akan sangat mengganggu perekonomian Provinsi NTB disaat pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara nasional ingin mengurangi angka pengangguran dan meningkatkn produksi pertanian rakyat khususya pertanian tembakau. Dan ujungnya pada penerimaan cukai rokok dan pajak rokok pun akan turun secara nasional.

Selain itu, lanjut Ketua DPD Partai Gerindra NTB yang menjadi kekekhawatiran lainnya karena cukai rokok mahal, maka akan banyak lagi industri rokok ilegal yg menggunakan cukai palsu. Saat ini saja sudah 11 persen industri rokok ilegal yang gunankan cukai rokok palsu.

"Dari aspek ini saya tidak yakin bahwa dengan dinaikkan cukai rokok dan harga rokok akan menambah penerimaan negara secara signifikan," ucap Wilgo.

Jika melihat dana bagi hasil cukai tembakau (DHCHT) pada tahun 2015, untuk Provinsi NTB mencapai Rp 203,3 miliar dan dana pajak rokok NTB pada tahun 2015 mencapai Rp 187 miliar. Namun, jika wacana pemerintah pusat menaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu perbungkusnya benar-benar direalisasikan pada tahun 2017, maka akan mengancam petani tembakau dan karyawan pabrik rokok termasuk  efek sektor ekonomi masyarakat lainnya.

Baca Juga :  Dampak Harga Rokok Naik Harus Diantisipasi

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi NTB, H. Budi Subagio menyebut jika wacana kenaikan harga rokok tembus diangka Rp 50 ribu perbungkus tidak perlu dikhawatirkan oleh petani.  "Rencana kenaikan rokok itu kan tahun depan. Jadi apanya yang protes oleh petani. Yang jelas saat ini harga tembakau petani masih sesuai kesepakatan petani dan perusahaan mitra," jelas Budi Subagio.

Budi mengatakan, jika saat ini pihaknya secara intens turun ke petani tembakau untuk memantau langsung kondisi tanaman tembakau hingga mengawal proses pembelian tembakau hasil panen petani terkait harga beli yang telah disepakati kedua belah pihak, baik itu petani dan perusahaan mitra.  "Kami tetap mengkawal perkembangan yang terjadi di tengah para petani tembakau," ujarnya.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmudji percaya pemerintah tak akan terprovokasi dengan wacana kenaikan harga rokok sampai Rp 50 ribu. Alasannya, industri tembakau yang dimulai pertanian hingga pabrik punya peran kuat dalam perekonomian Indonesia. Bahkan saat krisis ekonomi berat pada 1998 silam, industri hasil termbakau tetap bertahan dan mampu berkontribusi kepada negara. "Pemerintah akan bersikap bijaksana dengan tidak akan menaikkan harga rokok seperti kehendak kelompok antitembakau," kata Agus.

Agus mengatakan, wacana kenaikan harga rokok sendiri tidak rasional yang hendak menciptakan kegaduhan. Usulan itu juga tidak disadari akan berdampak buruk pada lumpuhnya sendi-sendi ekonomi budaya pertanian tembakau. “Pertanian tembakau itu sudah mengakar dan turun temurun sebagai alat dan media untuk mencari makan. Provokasi menaikkan harga rokok adalah tindakan yang mengancam stabilitas nasional di sektor penerimaan negara,” kata Agus.

Agus lantas menuding, usulan kenaikan harga rokok mencapai Rp 50 ribu itu sebagai agenda untuk membenturkan petani dengan pemerintah agar situasi negara tidak kondusif.  “Kalau ini terus dipaksakan oleh kelompok antitembakau, tidak menutup kemungkinan petani akan datang ke ibu kota ramai-ramai,” pungkasnya.

Baca Juga :  Wagub: Rokok Penyumbang Angka Kemiskinan

Sementara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memastikan informasi tentang kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok di atas Rp 50 ribu merupakan kabar palsu alias hoax. Pasalnya, sampai saat ini memang belum ada aturan terbaru tentang HJE rokok.

Bantahan DJBC itu disampaikan melalui akunnya di Facebook dan Twitter, Senin (22/8). Instansi pimpinan Heru Pambudi itu merasa perlu menyampaikan bantahan karena kabar hoax tentang HJE rokok di atas Rp 50.000 yang menyebar secara viral. “Menanggapi isu yang beredar mengenai harga rokok yang beredar di sosial media / pesan berantai / media lainnya, Kami sampaikan bahwa berita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena sampai saat ini belum ada aturan terbaru mengenai Harga Jual eceran (HJE) Rrokok,” tulis pengelola admin DJBC.

Sebelumnya memang muncul kabar wacana agar pemerintah menaikkan HJE rokok di atas Rp 50.000. Wacana itu dilontarkan  Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara, hingga saat ini pemerintah masih membahas besaran kenaikan cukai rokok untuk tahun depan. Karenanya soal usulan dari FKM UI itu, pemerintah baru sebatas mendengarkannya. ”Itu kan usul. Kita mendengarkan dulu. Sementara itu, timing dan besaran kenaikan tarif cukai masih dibahas internal,” terangnya kepada Jawa Pos kemarin.

Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi juga mengakui wacana harga rokok Rp 50 ribu adalah salah satu usul yang disampaikan kepadanya. Namun, dia menegaskan, jika pemerintah menuruti usul yang diajukan tersebut, industri rokok dipastikan bangkrut. ”Kalau hanya mendengarkan satu pihak (pro kesehatan, Red), ya bisa bangkrut itu (industri rokok). Selalu kalau lewat kurva optimum, ada ekses negatifnya, yaitu industrinya mati atau bermunculan yang ilegal. Jadi, tidak hanya (mempertimbangkan) yang pro kesehatan, tapi juga ada petani (tembakau),” tuturnya. (luk/jpg/ara/jpnn)

Komentar Anda