PRAYA – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lombok Tengah memiliki penafsiran berbeda dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) terhadap dugaan pelanggaran tindak pidana pemilihan yang diduga dilakukan oleh calon wakil gubernur NTB nomor urut 2, H Moh Suhaili FT dan calon bupati Lombok Tengah nomor urut 3, H Achmad Puaddi FT.
Pasalnya, H Moh Suhaili FT dan H Achmad Puaddi FT diduga melakukan tindak pidana pemilu saat menghadiri acara maulid di salah satu masjid di Desa Dasan Baru Kecamatan Kopang. Yang mana dalam acara maulid itu, keduanya diduga melakukan kampanye. Namun ternyata dalam penanganan yang dilakukan Gakkumdu keduanya tidak memenuhi unsur untuk dikenakan kasus tindak pidana.
Hal ini disebabkan yang bersangkutan hanya melaksanakan kampanye di tempat ibadah. Sementara menurut Gakkumdu bahwa dalam aturan yang bisa dikenakan tindak pidana pemilihan adalah melaksanakan kampanye di tempat ibadah dan tempat pendidikan. Di satu sisi, Bawaslu menegaskan bahwa sebenarnya bisa dikenakan tindak pidana jika melaksanakan kampanye di salah satu tempat yang dilarang seperti tempat ibadah atau tempat pendidikan.
Koordinator Devisi Data Informasi dan Pelanggaran Bawaslu Lombok Tengah, Abdul Muis mengungkapkan, untuk dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh calon wakil gubernur NTB, H Moh Suhaili FT dan calon bupati Lombok Tengah, H Achmad Puaddi FT sudah dibahas bersama Gakkumdu. Telah diputuskan bahwa kasus tersebut tidak memenuhi unsur untuk masuk tindak pindana pemilihan tapi berpotensi pada pelanggaran administrasi. âKarena di pasal 69 menyebutkan kampanye dilarang di tempat pendidikan dan tempat ibadah. Karena ada menggunakan kata dan, kemudian diterjemahkan oleh teman-teman APH dan kita koordinasi dengan pakar hukum memang dalam teorinya harus kumulatif. Jadi harus dua-duanya,â ungkap Abdul Muis, Kamis (10/10).
Artinya, jika melakukan kampanye yang lokasinya ada tempat ibadah dan juga ada tempat pendidikan, maka baru bisa memenuhi unsur tindak pidana pemilihan. Namun kalau hanya tempat ibadah saja tapi tidak ada tempat pendidikan maka tidak bisa. âMakanya unsur-unsur pelanggarannya tidak cukup. Tetap tidak boleh kampanye di tempat ibadah tapi tidak kena sanksi pidana, karena kalau sanksi pidana jika terbukti maka akan kena penjara maksimal enam bulan dan atau denda maksimal satu juta,â tambahnya.
Karena H Moh Suhaili FT dan H Achmad Puaddi FT lolos dalam jeratan sanksi pidana pemilihan, maka mereka berpotensi akan dikenakan sanksi administrasi seperti bisa saja pengurangan jadwal kampanye atau lebih ringan dari pada tindak pidana pemilu. âJadi kalau pembahasan di Gakkumdu bisa memenuhi unsur kalau dalam satu komplek ada dua unsur itu (tempat pendidikan dan tempat ibadah, red),â tegasnya.
Abdul Muis menerangkan, bahwa permasalahan ini sudah dua kali dilakukan pembahasan di Gakkumdu. Hasil pembahasan kedua bersama kepolisian dan Kejaksaan memang tidak memenuhi unsur. Diakui untuk dugaan pelanggaran ini diduga dilakukan oleh H Achmad Puaddi FT saat menghadiri acara maulid pada 26 September dan H Moh Suhaili FT pada 27 September. âKalau Pak Puad memang bahasanya agak normative. Bahasanya kalau jamaah mau pilih nomor satu silakan, nomor dua silakan, nomor tiga tiang yang songkok putih silakan. Tiang yang menggunakan songkok putih itu. Kalau Abah Uhel biasa guyon dulu cara mencoblos, bismilahirrohmanirohim nomor satu buka, nomor dua coblos, nomor tiga tutup,â jelasnya.
Hal berbeda disampaikan Kordiv Pencegahanm Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Lombok Tengah, Usman Faesal, jika calon atau paslon melakukan kampanye di salah satu tempat yang dilarang maka sudah bisa kena tindak pidana pemilihan, bukan harus dua lokasi yakni di lokasi pendidikan dan tempat ibadah. âKalau harus menunggu kampanye di dua tempat berbarengan dong tidak ada yang kena sanksi, jadi cukup misalkan kampanye di masjid sudah kena itu. Ini juga sudah kita lakukan di pilkada sebelumnya, ada yang diberikan sanksi tindak pidana karena kampanye di salah satu tempat yang dilarang,â katanya. (met)