MATARAM—Baru tiga bulan divonis pidana penjara selama 5 tahun, mantan pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB, Muhammad Irwin kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pekerjaan pembangunan dan rehabilitasi SMAN 1 Seteluk dan SMAN 2 Taliwang tahun anggaran 2021.
“Hasil ekspose tim penyidik, dengan ini menetapkan tersangka dengan inisial MI (Muhammad Irwin) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada pekerjaan pembangunan dan rehabilitasi Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik SMAN 1 Seteluk dan SMAN 2 Taliwang tahun 2021,” kata Kepala Kejari Sumbawa Barat, Titin Herawati Utara.
Kejari Sumbawa menetapkan mantan Kasi Sarana dan Prasarana (Sarpras) Bidang SMA pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB itu, dikuatkan dengan hasil pemeriksaan terhadap 19 orang saksi, serta dokumen terkait. “Jaksa penyidik menyimpulkan terdapat dugaan yang cukup terjadinya tindak pidana korupsi,” sebutnya.
Tersangka diduga telah melakukan perbuatan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan pada anggaran DAK Dikbud NTB tahun 2021 sebesar Rp 3,9 miliar. “(Kerugian keuangan negara Rp 3,9 miliar) ini berdasarkan hasil perhitungan tim penyidik sendiri,” ungkapnya.
Atas perbuatannya, penyidik menetapkan Muhammad Irwin sebagai tersangka, dengan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Berdasarkan data yang dihimpun dari LPSE Pemerintah Provinsi NTB, diketahui proyek tersebut dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2021. Proyek itu dibagi dalam tujuh item pekerjaan, meliputi rehabilitasi dan pembangunan gedung di kedua sekolah itu.
Berdasarkan data yang dihimpun dari laman LPSE itu, proyek dikerjakan oleh CV Cipta Mandiri dengan nilai penawaran sebesar Rp 3,7 miliar. Sementara untuk nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) di proyek tersebut mencapai Rp 3,9 miliar.
Sebelumnya, Muhammad Irwin terjerat kasus korupsi pengadaan alat kesenian atau marching band pada Dikbud NTB tahun 2017. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB bersama seorang kontraktor dari CV Embun Emas bernama Lalu Buntaran alias Ading.
Khusus untuk Muhammad Irwin, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Mataram telah menjatuhi pidana penjara selama 5 tahun, dan denda sebesar Rp 200 juta, subsider 3 bulan kurungan. Putusan hakim tingkat pertama itu kembali dikuatkan hakim Pengadilan Tinggi (PT) NTB yang diputus 30 April 2024 lalu.
“Menguatkan putusan pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram Nomor 28/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Mtr tanggal 28 Februari 2024, yang dimintakan banding,” vonis hakim PT NTB yang diketuai Cening Budiana dengan hakim anggota Gede Ariawan dan Rodjais Irawan dikutip dari laman resmi sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Mataram.
Amar putusan lainnya, hakim menetapkan uang yang telah disetorkan terdakwa ke kas daerah sebesar Rp 89,5 juta, dinyatakan sebagai pembayaran sebagian kerugian negara. “Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan,” bunyi putusan lainnya.
Diketahui, jaksa dalam dakwaan menyebutkan keduanya (Muhammad Irwin dan Lalu Buntaran) kongkalikong dalam pengadaan alat kesenian tahun 2017 tersebut. Persekongkolan itu terjadi sejak penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS).
Tak hanya itu, persekongkolan itu juga terjadi saat penentuan spesifikasi peralatan marching band yang nantinya diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah menengah atas.
Untuk pengadaan alat Marching Band itu, dianggarkan dalam dalam dua paket pengadaan. Paket pertama, PPK menyusun HPS senilai Rp1,69 miliar untuk 8 unit pengadaan alat Marching Band. Sementara paket kedua, HPS senilai Rp1,06 miliar untuk 5 unit pengadaan alat Marching Band.
Kedua paket itu dimenangkan CV Embun Emas dengan nilai penawaran berbeda. Paket pertama dengan nilai penawaran Rp 1,57 miliar, sedangkan paket kedua sebesar Rp 982 juta.
Muhammad Irwin, selaku PPK pertama kali menentukan nilai HPS dengan meminta anak buahnya Sabarudin untuk melakukan survei pasar. Melalui internet, Sabarudin mendapatkan sebanyak 17 rekomendasi alat marching band. Itu didapatkan dari Julang Marching Band yang ada Sleman, Yogyakarta. Kemudian diserahkan ke terdakwa Muhammad Irwin, selanjutnya menyerahkan ke terdakwa Lalu Buntaran dan saksi Sapoan.
Dengan daftar yang diterima dari terdakwa Muhammad Irwin, terdakwa Lalu Buntaran menghubungi Julang Marching Band dan meminta daftar harga untuk satu unit alat Marching Band tersebut. Usai mendapatkan daftar harga, Lalu Buntaran menyerahkan ke Muhammad Irwin.
Penyerahan daftar harga diserahkan di Kantor Dinas Dikbud NTB. Kemudian daftar harga itu dipergunakan untuk menyusun HPS untuk satu unit kelengkapan alat Marching Band. “Nilainya sebesar Rp 212 juta,” jelasnya.
Terungkap di dalam dakwaan, CV Embun Emas yang keluar sebagai pemenang bukan miliknya terdakwa Lalu Buntaran, melainkan milik adiknya. Dan jaksa dalam dakwaan, menyebutkan Lalu Buntaran melakukan monopoli. Hal itu dikarenakan dari belasan perusahaan yang mendaftar sebagai peserta lelang, hanya CV Embun Emas yang melampirkan harga penawaran. Juga tidak menyalurkan barang sesuai spesifikasi perencanaan.
Atas tindakannya, kedua terdakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 702 juta, berdasarkan hasil audit BPKP NTB. (sid)