SELONG – Sepanjang Januari 2025, sebanyak 150 warga di Lombok Timur (Lotim) ditemukan sebagai suspek Demam Berdarah Dengue (DBD). Dari jumlah tersebut, 38 orang dinyatakan positif.
“Hanya 38 orang yang positif. Saat ini pasiennya masih dirawat di rumah sakit. Tidak ada yang sampai meninggal,” terang Kepala Bidang P3KL Dinas Kesehatan Lombok Timur, Budiman Satriadi.
Menurutnya, DBD merupakan salah satu fokus perhatian di Lotim, terutama saat musim hujan, karena banyak tempat perindukan nyamuk bermunculan. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan Lotim terus memantau perkembangan DBD, selain penyakit berbasis lingkungan lainnya seperti diare, ISPA, dan sebagainya.
Dalam tiga tahun terakhir, kasus DBD di Lombok Timur terus mengalami penurunan, terutama pada tiga bulan terakhir tahun 2024. Pada Oktober tercatat 30 kasus, kemudian November 28 kasus, dan Desember 14 kasus.
“Memang bulan Januari ini kami menemukan sebanyak 150 suspek DBD, dengan gejala utama demam tinggi. Itu yang kami uji secara laboratorium untuk memastikan apakah benar DBD atau penyakit lain seperti tipes,” katanya.
Ia mengkhawatirkan jumlah kasus ini akan terus bertambah, mengingat saat ini memasuki musim hujan yang menyebabkan banyak sarang nyamuk. Ia mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap DBD, salah satunya dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat perindukan nyamuk.
Pada tahun 2024 lalu, daerah dengan jumlah kasus DBD tertinggi adalah Kecamatan Terara dengan 38 kasus positif, disusul Kecamatan Sakra (36 kasus), Labuhan Haji (31 kasus), dan Rarang (30 kasus).
Sementara itu, Koordinator Program DBD Puskesmas Sakra, Nurul Haqiqah, menambahkan bahwa selama Januari 2025, ditemukan empat kasus DBD di Kecamatan Sakra. Tiga kasus terjadi di Dusun Perenang dan satu kasus dari desa lain. Hampir setiap tahun, Dusun Perenang menjadi langganan kasus DBD, bahkan telah masuk zona merah.
“Dusun Perenang ini sudah masuk zona merah di Kecamatan Sakra karena kasus DBD. Hampir setiap tahun selalu ada yang terkena. Seluruh penderita DBD kali ini adalah anak-anak, mulai dari usia 2–4 tahun,” jelasnya.
Menurutnya, tingginya kasus DBD di dusun tersebut salah satunya disebabkan pola hidup sehat masyarakat yang masih rendah. Ditambah lagi dengan mobilitas warga yang tinggi serta mayoritas masyarakat berprofesi sebagai peternak ayam, bebek, merpati, dan lainnya.
Peralihan musim panas ke musim hujan diakui kerap memicu peningkatan kasus DBD di Lombok Timur, khususnya Kecamatan Sakra. Apalagi wilayah selatan dikenal sebagai daerah rawan kekeringan, sehingga masyarakat banyak menampung air. Penampungan air inilah yang kerap menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk. (lie)