MATARAM – Petani Tembakau menolak revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pasalnya, sejak PP 109 2012 ini di berlakukan, sudah mengebiri hak-hak ekonomi petani tembakau dan sangat berdampak negatif pada penyerapan bahan baku Nasional.
“Revisi PP No 109 Tahun 2012 merupakan salah satu agenda RPJMN Kemenkeu RI 2020-2024.Tujuannya untuk membatasi ruang gerak tembakau dan produknya di Indonesia. Jelas tidak menerima dan menolak, yang belum direvisi saja sudah menjerat tembakau dan produk tembakau,” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB Sahminuddin kepada Radar Lombok, Rabu (27/7).
Dikatakannya, selain itu rencana revisi PP 109 tahun 2012 dinilai terlalu dipaksakan untuk mempertajam pengaturan pengendalian tembakau atau produk tembakau nasional, sehingga akan memberikan efek domino negatif bagi petani tembakau, berikut hasil ikutannya dari hulu sampai hilir.
“Dorongan revisi PP 109 tahun 2012 merupakan penjajahan kearifan lokal yang tidak memandang pelestarian budaya pertanian , budaya ekonomi pedesaan dan kelesatarian keanekaragaman budaya bangsa Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, secara langsung dampak revisi PP kepada petani tembakau memang kelihatan tidak ada. Tetapi dengan regulasi yang dibuat bermacam-macam ini berimbas pada industri hasil tembakau. Di mana omzet penjualannya turun drastis, karena kebutuhan tembakau juga berkurang dan peluang pasarnya kian mengecil.
Sebelumnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga tidak pernah memberikan subsidi kepada petani tembakau. Betul ada DBHCHT, tetapi peruntukannya lebih banyak ke bidang yang tidak ada sangkut pautnya dengan tembakau. Di samping itu impor tembakau tidak bisa dibendung, karena perjanjian pasar bebas. Harga dan kualitas tembakau nasional kalah bersaing dengan tembakau impor.
Sahminuddin menyebut lima agenda RPJMN Kemenkeu RI dalam Peraturan Menteri Keuangan No 77 tahun 2020 yang tidak berpihak pada petani tembakau. Pertama Cukai Hasil Tembakau (CHT) dinaikkan 21 % per tahun 2020 hingga 2024 dan simplifikasi golongan CHT. Berikut menyetop promo dan iklan rokok dalam bentuk apapun dan di media manapun. Kemudian mendorong DBHCHT sebesar-besarnya untuk kesehatan. Terbaru adalah revisi PP No 109 th 2012.
“Kelima agenda tersebut jelas akan menggerus menurunnya penjualan rokok. Lebih-lebih dampak dari covid 19 serta naiknya harga BBM dunia akibat perang Rusia dengan Ukraina. Belum lagi tahun 2022 golongan CHT dikurangi dari 10 golongan jadi delapan golongan,” bebernya.
Sahminuddin mencontohkan negara-negara lain sebagai penghasil tembakau. Rata-rata Pemerintah negara tersebut mensubsidi petani tembakaunya. Bahkan tanaman tembakaunya diasuransikan. Begitu juga dengan pemasarannya sudah ditangani oleh negara. Sementara di Indonesia semua diserahkan ke mekanisme pasar.
“Menindaklanjuti informasi rencana revisi PP 109 tahun 2012, APTI Pusat telah melayangkan surat pada hari ini (27/7) berisi sikap tegas APTI menolak revisi ini. Sehingga menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat,” tandasnya. (cr-rat)