APTI NTB Tolak Rencana Revisi Aturan Tembakau

Tanaman tembakau petani di Lombok Timur, jelang panen. (DOK / RADAR LOMBOK)

MATARAM – Pemerintah berencana ntuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif, berupa produk tembakau bagi kesehatan.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Provinsi NTB Sahminudin menolak adanya revisi PP 109. Pasalnya, hal itu berpotensi mematikan ekonomi daerah.

“Revisi PP 109 hanya melihat masalah rokok dan produk turunannya sebagai masalah kesehatan semata, dan tidak memandang dampaknya dari sudut pandang ekonomi, perdagangan dan sosial. Kementerian Kesehatan mempertaruhkan masa depan jutaan petani, serta ekonomi Indonesia tanpa ada kebijakan dan rencana yang jelas,” kata Sahminudin Kepada Radar Lombok, Selasa (24/1).

Menurutnya, revisi PP 109 bukanlah solusi yang bijaksana untuk dilakukan. Terlebih Indonesia masih bergantung dengan IHT. Di mana tembakau dan industri rokok merupakan penyangga perekonomian rakyat dan negara.  Apabila Pemerintah tetap merevisi PP 109/2012, sekitar 2,3 juta petani tembakau akan kehilangan sumber penghidupan yang layak. Diversifikasi atau pengalihan tanaman tembakau, akan memicu peningkatan impor tembakau yang akan melemahkan daya saing pertanian tembakau rakyat.

Baca Juga :  Dewan Minta Kenaikan CHT 10 Persen Ditinjau Kembali

Kemudian akan mengurangi penyerapan lapangan kerja yang diserap di sektor pertanian dan industri tembakau, sekaligus mendorong untuk menggantikan tembakau dengan tanaman lain. Imbasnya jelas berpotensi mematikan industri tembakau nasional. Ketentuan tersebut juga akan merampas hak industri hasil tembakau yang sah atau legal, seharusnya berhak diperlakukan sama dengan industri lainnya dalam menjalankan kegiatan usahanya termasuk memasarkan dan mempromosikan produknya.

Menurutnya, apabila PP ini dipaksa untuk direvisi, dampaknya bukan hanya kepada petani tembakau dan industri hasil tembakau saja, tetapi berdampak pula kepada Pemerintah sendiri. Sebagai contoh misalnya dalam revisi itu, minimal isi satu bungkus rokok 20 batang, maka konsumen semakin berkurang, laju rokok kurang, otomatis kebutuhan tembakaunya berkurang.

Dampak lainnya rokok bercukai tidak mampu dibeli konsumen, sehingga target CHT jelas tidak tercapai alias menurun. Bahkan PHK massal akan banyak terjadi pada perusahaan industri tembakau, sehingga menimbulkan pengangguran. Sementara pemerintah tidak mampu mencari pengganti serbuan rokok impor dan gejolak sosial dan lainnya.

Baca Juga :  Konsumen Pertamax Ramai-ramai Beralih Gunakan Pertalite

Rokok ilegal akan semakin merajalela, itulah lihainya PP ini terkesan yang diserang industri rokok dan rokok, tetapi tengah, hulu, dan lainnya pasti terdampak.

“Apalagi mulai tahun ini, pemerintah mengharamkan petani tembakau mendapatkan pupuk bersubsidi,” ujarnya.

Dengan dilakukannya revisi 109 akan turut mengadopsi pedoman esksesif FCTC. Di mana beberapa ketentuan eksesif yang akan dimasukkan dalam aturan PP 109 revisi antara lain kemasan polos, larangan interaksi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri tembakau, pelarangan total untuk iklan, promosi, sponsorship, dan lainnya.

Pengaturan eksesif tersebut akan sangat merugikan bagi banyak masyarakat yang hidupnya bergantung pada produksi dan perdagangan produk tembakau, seperti para petani tembakau, petani cengkeh, pedagang retail, pekerja pada industri rokok.

“APTI merekomendasikan agar RUU Pertembakaun yang nantinya akan disusun dan dibahas untuk melindungi kepentingan perlindungan petani tembakau. Bukan dari sisi kesehatan semata,” tandasnya. (cr-rat)

Komentar Anda