APTI Nilai Industrialisasi Tembakau NTB Masih Sulit

PENGUSAHA TEMBAKAU: Pengusaha tembakau asal Lombok Timur terlihat menunjukkan cara melinting tembakau menjadi rokok.

MATARAM — Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) NTB, Sahmimudin merespon ajakan Gubernur NTB, Zulkieflimansyah untuk memproduksi rokok dalam daerah. Namun menurutnya, hal tersebut tidak mudah. Terlebih gempuran produk dari luar yang tidak bisa dibendung.

“Fenomena akhir-akhir ini banyak kita lihat industri hasil tembakau (IHT) khususnya SKT (Sigaret Kretek Tangan). Yang jadi pertanyaan, apakah hasil IHT produk lokal (daerah) mampu membendung produk dari luar yang merupakan produksi perusahaan papan atas, menengah dan bawah?” ujar Sahmimudin, kepada Radar Lombok.

Sahmimudin menilai dari segi penampilan, merk, rasa, hingga harga. Rokok lokal tidak bisa menandingi produk luar. Kalaupun diproduksi berapa persen dari total produksi tembakau daerah bisa terserap untuk produk IHT daerah.

“Bagaimana ke depan dengan penanganan budidaya tembakau di Lombok, apakah pelaku IHT daerah mau dan mampu membina. Suatu produk IHT membutuhkan banyak jenis tembakau. Apakah semua jenis tembakau tersebut sudah bisa (ada) di daerah,” ungkapnya.

Pihaknya juga mempertanyakan kesiapan Pemerintah Daerah dalam membuat regulasi, serta mendampingi para pelaku industri. Sebagai contoh, jika total produksi tembakau NTB bisa mencapai 50 ribu ton hingga 60 ribu ton per tahun. Lalu apakah ada jaminan produsen rokok NTB mampu menyerap 10 ribu ton per tahun. Kemudian sisanya yang 40 ribu ton sampai 50 ribu ton tembakau mau dibawa kemana.

Baca Juga :  Kenaikan Tarif Retribusi Gili Tramena Harus Dibarengi Pelayanan Prima

“KIHT (Kawasan Industri Hasil Tembakau) itu minimal lima hektare (Ha), dengan sederet persyaratan. Sementara dari Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dinas saja bermasalah. Apa yang menjadi ranah Dinas Perindustrian dikerjakan oleh Distanbun. Demikian antara Pemprov NTB dengan Pemkab Lotim,” jelasnya.

Belum lagi siapa saja yang mengisi KIHT di eks Paok Motong, Lombok Timur, jika melihat efisiensi, daya tampung, serta daya dukung KIHT itu. Bahkan menurut Sahmimudin para pelaku industri hasil tembakau yang sudah jalan dan mapan, dipastikan tidak mau bergabung di KIHT.

“Konsistensi dengan regulasi yang dibuat. Maka Pemda juga harus hadir, segaris antara kata dan laku. Berdayakan DBHCHT di budidaya, sehingga kuantitas dan kualitas meningkat, sehingga mampu bersaing di pasar dalam dan luar negeri,” tandasnya.

Baca Juga :  Gubernur Tetapkan HET LPG 3 Kg Rp18.000

Sebelumnya, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah berharap makin banyak pengusaha rokok lokal yang berani membangun usaha rokok. “Saatnya petani tidak lagi menjual bahan baku (tembakau) dengan murah, dan membelinya dengan mahal. Industrialisasi tembakau untuk pabrik rokok harus bangkit lagi”, ujarnya.
Gubernur mengatakan, industri rokok harus dimulai dengan keberanian, setidaknya agar masyarakat mendapatkan pilihan merk rokok. Terlebih harga rokok yang beredar di pasar kian mahal, padahal bahan bakunya dari Lombok yang dibeli murah.

“Ptani tembakau tidak sejahtera jika tembakau hasil panennya dijual murah, dan membeli rokok bermerk dari luar daerah,” ucapnya.

Salah seorang pengusaha rokok pembuat merk Rinjani, Zen mengatakan usaha rokok dimulai sejak 2004 dan sudah berjalan dengan 40 orang karyawan. Sementara pengusaha lainnya mengaku masih kesulitan soal pengemasan dan pemasaran. (cr-rat)

Komentar Anda