MATARAM—Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), menyatakan jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB mencapai 13,85 persen, atau sekitar 745 ribu lebih. Kemudian sebanyak 2,64 persen atau 143.029 orang, masuk kategori kemiskinan esktrem.
“Tinggal kita bekerja bagaimana caranya supaya sesuai dengan target nasional bisa 0 persen kemiskinan,” kata Kepala Bappeda NTB, Iswandi saat ditemui di Mataram, Kamis kemarin (1/2).
Iswandi menyebut salah satu kendala Pemprov dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di NTB, karena masih banyaknya masyarakat kategori kaya yang menerima bantuan. Untuk itu, Pemprov mengimbau supaya bantuan sosial itu hanya diberikan kepada masyarakat miskin.
“Karena semua orang ingin dibantu, dan semua orang ingin mendapatkan bantuan pemerintah. Kalau begitu pemikiran kita, berapapun bantuan tidak akan pernah cukup,” ujarnya.
Iswandi mengaku pihaknya sudah mendapat rekomendasi dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB, untuk mendapatkan langkah-langkah efektif guna mengakselerasi kemiskinan ektrem bisa mencapai 0 persen, serta prevalensi stunting bisa mencapai 14 persen di tahun 2024.
“Iya tersebar di NTB, bisa dilihat by bame by address berdasarkan data P3KE (Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem) per desa itu ada jumlahnya,” ujarnya.
Dikatakan, memang bukan pekerjaan yang mudah, sehingga membutuhkan kolaborasi di semua lintas sektor. “Karena itu melalui pertemuan ini dilakukanlah pemeriksaan oleh BPKP untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut, sudah on the track atau sesuai dengan jalurnya, untuk memastikan Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki progress yang akseleratif didalam menurunkan stunting, dan menghapus kemiskinan ekstrem di tahun 2024,” lanjutnya.
Dalam hal kemiskinan ekstrem, diakui memang terbatas dalam anggaran di daerah, namun dapat mengefektifkan melalui dana pusat, serta penguatan data melalui data P3KE. “Kita juga dapat melakukan kolaborasi bersama BPJS, melakukan pengecekan nama-nama pada data BPJS, dengan menyandingkan data P3KE di desa, yang masyarakat miskin sudah memiliki kartu BPJS,” tambahnya.
Untuk persoalan stunting, ada beberapa rencana aksi (Renaksi) yang perlu dilakukan dalam rangka penurunan stunting. Diantaranya berkolaborasi dengan KUA melalui Kementerian Agama dalam hal pemberian edukasi bagi masyarakat yang akan menikah.
Renaksi lainnya adalah melalui UKS di setiap sekolah-sekolah di NTB, dengan memberikan sosialisasi berkaitan dengan kesehatan remaja atau edukasi-edukasi, yang salah satunya dalam hal pernikahan dini.
“Dengan UKS di setiap sekolah, program penanggulangan kemiskinan juga dapat berjalan, ditambah dengan adanya Posyandu Keluarga (Posga) yang ada di NTB. Kita perlu bangga karena Posga di NTB akan diadopsi menjadi layanan primer di tingkat nasional oleh Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Terkait kemiskinan ekstrem, Kepala Bappeda Provinsi NTB Iswandi juga menyampaikan bahwa masalah pensasaran masih menjadi tantangan bagi pemerintah daerah.
Sehingga perlu dilakukan pengawasan ketepatan pensasaran dan penyaluran baik oleh BPKP maupun oleh inspektorat daerah.
Sementara Kepala Perwakilan BPKP NTB, Sidi Purnomo, menambahkan kalau merujuk pada data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), jumlah keluarga yang masuk dalam desil 1 di Provinsi NTB sebanyak 202.716 keluarga, dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Lombok Timur, yaitu 59.077 keluarga atau 29,14 persen dari total jumlah keluarga desil 1 di Provinsi NTB.
Sementara, pada tahun 2022, berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), Angka Prevalensi Stunting (APS) Provinsi NTB mencatat pencapaian yang belum optimal, dengan angka 32,7 persen atau naik jika dibandingkan tahun 2021 sebesar 31,4 persen.
Meskipun menurut data Pemerintah Provinsi NTB melalui e-PPGBM APS tahun 2023 telah mencapai 13,78 persen, terdapat gap yang cukup tinggi antara kedua data tersebut.
Namun Pemerintah Pusat menggunakan acuan data SSGI atau Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang belum dirilis hasilnya. Hal ini menunjukkan perlunya komitmen dan kerja keras semua pihak. Pihaknya mengajak seluruh pihak terkait untuk bersatu padu dalam memerangi stunting dan kemiskinan ekstrem di Provinsi NTB. “Mari kita tinggalkan sekat-sekat sektoral dan bekerja bersama menuju transformasi positif yang dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat kita,” tegasnya.
Sedangkan Koodinator Pengawasan Bidang Instansi Pemerintah Pusat (Korwas IPP) BPKP NTB, Moh. Fazlurrahman dan Tim menyampaikan bahwa dari hasil pengawasan Perwakilan BPKP NTB di lapangan, masih ditemukan kelemahan-kelemahan penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem dari sisi kebijakan, tata Kelola, akuntabilitas, kebermanfaatan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah di Provinsi NTB.
“Terkait stunting, diperlukan penyempurnaan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota agar selaras dengan Peraturan Presiden 72/2021, tagging dan konvergensi intervensi anggaran spesifik/sensitif yang lebih jelas dan juga keseriusan dalam implementasi intervensi yang telah direncanakan,” katanya.
Selain itu, peran TPPS sebagai playmaker kelembagaan penanganan stunting harus ditunjukkan secara nyata dan berkelanjutan. Terkait data pencatatan stunting, jumlah antropometri kit maupun USG yang ada belum sebanding dengan jumlah Posyandu di kabupaten/kota, selain permasalahan SDM dan metodologinya.
Mengenai kemiskinan ekstrem, pemerintah daerah di Provinsi NTB perlu menyusun dan/atau menyempurnakan Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah, agar memuat intervensi atas kemiskinan ekstrem maupun penggunaan data pensasaran yang telah diverifikasi dan divalidasi.
Kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) harus berperan aktif untuk mendorong proses ini. Selain itu masih banyak intervensi program terkait kemiskinan ekstrem yang belum berdasarkan data P3KE.
“Masih kami jumpai, masyarakat yang masuk dalam desil 1 P3KE, namun sama sekali belum pernah menerima intervensi, baik dari strategi penanganan beban pengeluaran tinggi maupun dari peningkatan produktivitas dan pendapatan,” pungkasnya. (rat)