Anggota MPR RI Nanang Samodra Sosialisasi Empat Pilar di Unizar

Nanang Samodra, Anggota MPR RI (IST FOR RADAR LOMBOK)

MATARAM–Sosialisasi Empat Pilar MPR RI berlangsung di Aula Abdurrahim Kampus Universitas Islam Al Azhar (Unizar), Minggu (29/5/2022). Peserta terdiri atas, mahasiswa, dosen, dan karyawan Universitas Islam Al Azhar.

Nanang Samodra, anggota MPR RI, selaku narasumber memaparkan secara panjang lebar mengenai sejarah UUD Negara RI tahun 1945. Jika pada sosialisasi Empat Pilar MPR terdahulu, pembahasan difokuskan pada kegiatan sejak proklamasi kemerdekaan RI, konstitusi RIS, sampai pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka kini difokuskan pada masa pemerintahan sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sampai dengan berakhirnya Pemerintahan Orde Lama, 11 Maret 1966.

“Kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Orde Baru yang berakhir dengan mundurnya Suharto sebagai presiden, 21 Mei 1998,” jelas pria bergelar doktor itu.

Pada masing-masing tahapan terjadi perbedaan yang antara satu tahap dengan tahap lainnya. Tergantung dari situasi yang terjadi pada setiap era. ‘Sejak pemerintahan ditandai dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan kembali menggunakan Undang- Undang Dasar 1945,” ujarnya.

Pada masa itu parlemen diisi oleh tiga kelompok aliran politik yang disebut dengan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaraan antara lain dengan mengangkat Presiden Sukarno sebagai presiden seumur hidup.

Sedangkan kegiatan perekonomian diwarnai dengan konsep Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Saat itu kata Nanang, diberlakukan larangan impor, menyebabkan inflasi tidak terkendali dan banyak terjadi penyelundupan.

Pemerintahan ini tumbang setelah terjadinya pemberontakan G-30-S / PKI, yang diprakarsai oleh Partai Komunis Indonesia. “Beberapa Jenderal disiksa dan dibunuh setelah diisukan membentuk Dewan Jenderal oleh PKI, ” kabarnya terkait fakta sejarah.

Pemerintahan tersebut dikenal dengan istilah pemerintahan Orde Lama, dan kemudian digantikan oleh Pemerintahan Orde Baru. Baik Orde Lama maupun Orde Baru, menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Pemerintahan Orde Baru berkomitmen untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara murni dan konsekuen.

“Dalam perjalanannya pemerintahsn Orde Baru ditumbangkan oleh kekuatan masyarakat yang disebut Orde Reformasi, akibat harga barang-barang membumbung tinggi secara tidak terkendali,” jelasnya.

Terdapat banyak kelemahan dalam sistem pemerintahan Orde Baru, diantaranya: Meskipun pemilihan presiden dilakukan setiap lima tahun sekali, namun orang yang terpilih itu-itu juga, berarti tidak berbeda dengan presiden seumur hidup.
Dijelaskan lebih lanjut, sistem pemerintahan juga terlalu sentralistik. Semua persoalan diatur dari pusat, kewenangan daerah sangat terbatas. Selain itu juga bekembang adanya budaya restu, sehingga setiap aktivitas harus dilaksanakan berdasarkan restu. Hak politik masyarakat sangat dibatasi, keberadaan partai politik berada dibawah kendali pemerintah.

Diskusi kali itu memunculkan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta. Mulai dari apa perbedaan mendasar antara pemerintahan Orde Lama dengan Pemerintahan Orde Baru? Bagaimana sikap masyarakat yang hak-hak suara dan hak-hak politiknya dibatasi. Apakah mereka tidak melakukan protes? “Ada juga terkait mana yang lebih stabil antara pemerintahan Orde Lama dengan pemerintahan Orde Baru,” ujar mantan Sekda NTB itu.

Pertanyaan lain terkait bagaimana dengan tahapan pembangunan antara pemerintahan Orde Lama dengan pemerintahan Orde Baru? Hingga mengapa pemerintahan Orde Baru bisa tumbang?

“Kami beri pemahaman pada aneka pertanyaan masyarakat,” tutupnya. (RL)

Komentar Anda