MATARAM – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB membongkar akal bulus I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung, tersangka dugaan tindak pidana pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.
Modus pria (21) penyandang disabilitas tanpa kedua tangan asal Monjok Griya, Kelurahan Monjok, Kecamatan Selaparang ini dengan mengancam korban. Jika tidak dituruti keinginannya, rahasia korban akan dibongkar.
“(Korban diancam) dengan kata-kata ‘kalau tidak mengikuti permintaan saya, saya akan bongkar aib kamu’. Ini lah rangkaian kata-kata (ancaman pelaku). (Sehingga) Terjadilah perbuatan pelecehan seksual itu yang terjadi di homestay yang ada di Mataram,” terang Direktur Ditreskrimum Polda NTB Kombes Pol Syarif Hidayat, Senin (2/12).
Aksi pelecehan seksual fisik yang dilakukan Agus Buntung terjadi 7 Oktober 2024 lalu. Hal itu bermula dari keduanya bertemu secara tidak sengaja di Teras Udayana. Karena pada dasarnya, korban dan pelaku tidak pernah saling kenal.
Saat itu korban sedang membuat konten untuk di-upload di media sosialnya. Sementara pelaku datang ke Teras Udayana dari rumahnya dengan menumpang seseorang. Agus tidak mengendarai motor sendiri, karena motor khususnya sedang rusak. “Dilihatnya korban sendiri membuat konten, pelaku datang. Datang memperkenalkan diri. Kenalan. Ini keterangan dari yang kita dapat dalam berita acara pemeriksaan (BAP),” ungkapnya.
Setelah memperkenalkan diri, Agus menyuruh korban melihat ke arah lain. Ada seorang perempuan dan laki-laki sedang melakukan perbuatan asusila di Teras Udayana. “Serta-merta si korban tanpa disadari mengungkap kalimat ‘seperti saya dulu’ sambil sedih dan mengeluarkan air mata. Ini yang kita dapat fakta berdasarkan hasil pemeriksaan,” katanya.
Melihat korban yang sedih, pelaku mengajak korban pindah duduk di sebuah berugak, masih dalam kawasan Teras Udayana. Di sana, korban mulai menceritakan apa yang pernah dialami.
“Pelaku sudah mengetahui (cerita masa lalu korban) itu, (pelaku) menyampaikan kamu (korban) itu berdosa. Kamu itu perlu dibersihkan. Caranya harus mandi, mandinya bareng saya,” ujarnya.
Agus mengatakan itu sambil melontarkan kata ancaman yang membuat korban ketakutan. “Kalau tidak, aib kamu akan saya buka dan saya akan sampaikan ke orang tua kamu,” kata Syarif menirukan ancaman yang dilontarkan Agus terhadap korban.
Korban terpaksa menuruti kemauan dari pelaku. Ia diajak pergi ke homestay Nang’s, yang berada di wilayah Rembiga, Kecamatan Selaparang. Agus dibonceng oleh korban menggunakan kendaraannya. Karena pada dasarnya, pelaku tidak membawa kendaraan.
Keduanya sampai di homestay itu. Di sana, ada penjaga homestay. Korban merasa antara Agus dan penjaga homestay tersebut ada kerja sama. “Sesampai di kamar nomor 6, di dalam kamar korban masih menolak. Tetapi sekali lagi, pelaku menyampakan ‘kalau kamu tidak menuruti saya, saya akan buka aib kamu’,” imbuhnya.
Di dalam kamar, pelaku meminta korban untuk membukakan bajunya. Lagi, pelaku mengancam korban dengan kalimat yang sama agar korban tunduk dengan perintahnya.
“Yang buka baju pelaku adalah korban, karena diancam dengan kalimat itu lagi. Si korban ini menggunakan rok, pakai legging dan dalamnya pakai CD (celana dalam),” katanya.
Dikatakan Syarif, korban sendiri yang membuka roknya. Setelah korban membuka roknya, kemudian pelaku membuka legging dan CD korban menggunakan jari kakinya.
“Setelah itu, dengan posisi seperti biasa, terjadilah pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku seperti orang biasa. Yang merentangkan kaki korban itu, menggunakan kaki pelaku sendiri, dengan posisi pelaku di atas,” ungkap dia.
Kasus yang ditangani ini berdasarkan laporan dari korban. Laporannya masuk tanggal 7 Oktober 2024 lalu, usai Agus menjalankan aksinya. Proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan hingga menetapkan Agus sebagai tersangka.
“Perkara ini bermula dari ada laporan masuk ke kita, kita lakukan penyelidikan. Di mana, dalam proses penyelidikan ditemukan fakta-fakta dan bukti-bukti. Bukan serta-merta langsung kita tetapkan yang bersangkutan (Agus Buntung) sebagai tersangka. Akan tetapi, melalui proses jangka panjang, melalui proses penyelidikan, mengumpulkan bukti-bukti, meminta keterangan ahli-ahli. Setelah itu, penyidik meyakini ada unsur pidana di sana, barulah dinaikkan ke penyidikan, kita tetapkanlah Agus sebagai tersangka,” tegas Syarif.
Agus ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 6 C UU No 12 tahun 2022 tenatang TPKS (tindak pidana kekerasan seksual). Kendati sudah berstatus tersangka, Agus tidak ditahan. Agus menjadi tahanan rumah karena kondisi Agus yang disabilitas.
“Kedua, sarana kita yang ada di Polda NTB ini belum memadai soal disabilitas. Ketiga, dia kooperatif dalam setiap proses pemeriksaan yang kita lakukan. Jadi kita jadikan tahanan rumah,” katanya.
Pendamping korban, Andre Saputera mengungkapkan, meski disabilitas, pelaku begitu produktif. Ketika masuk ke kamar, pelaku membuka pintu menggunakan gigi dan mulutnya. “Jadi, pelaku produktif,” tegasnya.
Ketika di dalam kamar, ancaman-ancaman terus didapatkan korban. Korban juga menunjukkan gestur menolak saat diajak berhubungan layaknya suami istri oleh Agus. Seperti ingin berteriak, mengalihkan pandangannya saat pelaku tidur di kasur dan menendang pelaku.
“Tetapi pelaku melakukan intimidasi ke korban. Intimasinya seperti apa? Apabila kamu berteriak, maka akan didengar oleh orang di luar kamar. Kalau didengar oleh orang di luar kamar, maka kita akan dinikahkan. Karena intimidasi seperti itu, korban merasa takut dan diam. Tidak ada kuasa (korban) dengan ancaman-ancaman yang dilakukan pelaku, korban tidak ada kuasa karena hal itu. Korban diam,” bebernya.
Usai menjalankan aksinya, pelaku mengajak korban untuk mengantarnya ke masjid Islamic Center. Ajakan itu ditolak korban. Tetapi, pelaku lagi-lagi mengeluarkan ancaman yang serupa ke korban. “Kemudian korban mau untuk mengantar pelaku ke Islamic Center. Saat perjalanan, korban berusaha menelepon temannya dua orang untuk meminta pertolongan bertemu di areal Islamic Center,” ucap dia.
Saat tiba di Islamic Center, korban beberapa kali mengelilingi area Islamic Center untuk menunggu dua orang temannya dan memastikan pelaku tidak ke mana-mana.
“Itu yang dilakukan korban. Satu momen korban melontarkan pertanyaan ke pelaku, berapa korban yang sudah digituin (dilecehkan). Tapi pelaku tidak mengindahkan atau menjawab pertanyaan korban,” katanya.
Teman korban tiba dan mengetahui persoalan yang dialami korban. Di sana, teman korban mengamuk dan hampir memukul pelaku. Namun niat itu urung dilakukan karena melihat keadaan Agus yang cacat. “Setelah itu, korban diarahkan melaporkan ke Polda NTB,” pungkasnya.
Agus yang ditetapkan sebagai tersangka ini menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya, Agus penyandang disabilitas tanpa kedua tangan. Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi mengungkapkan, pihaknya telah mendampingi tersangka sejak awal laporan diterima.
Hal itu dilakukan untuk memastikan hak-hak disabilitas sesuai ketentuan hukum, termasuk PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi disabilitas dalam proses peradilan. “Tidak serta merta kasus ini langsung menetapkan tersangka tanpa memperhatikan hak-hak disabilitas,” ujar Joko.
Hasil penilaian personal dari KDD NTB menunjukkan bahwa tersangka mampu menjalani aktivitas seperti menyelam, naik sepeda motor, hingga membuat konten media sosial. “Dengan kakinya tersangka dapat melakukan fungsi tangan, termasuk melakukan tindakan fisik yang menjadi dasar penetapan tersangka,” jelasnya.
Diungkapkan, ada tiga korban yang masuk BAP dalam laporan kasus yang terjadi pada 7 Oktober 2024 ini. Korban tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah. Mengingat, baru-baru ini, lanjut Joko, pihaknya baru mendpatkan informasi adanya korban lain dan masih dalam penelusuran. “Sementara ini, yang terkonfirmasi teridentifikasi ada tiga orang (diduga menjadi korban) dan itu tiga-tiganya adalah anak, usianya di bawah 18 tahun,” tegasnya.
Tiga anak yang diduga pernah menjadi mangsa si Agus Buntung pada tahun 2022 dan 2024. Kejadiannya di Kota Mataram. Modusnya sama dengan yang dilakukan ke korban mahasiswi, yang sudah melapor. “Ada juga yang diajak pacaran,” katanya.
Dengan melihat tempat kejadiannya di wilayah Kota Mataram, KDD NTB bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram untuk men-tracking anak yang kemungkinan menjadi korban tersebut. “Karena ini juga harus kita buka. Supaya adillah ya, artinya kita melindungi si tersangka tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan hak-hak korban,” sebutnya.
Tiga korban itu sudah terdeteksi tempat tinggalnya dan namanya sudah didapatkan. Apakah tiga anak yang diduga menjadi korban tersebut akan didorong melaporkan Agus lagi ke Polda NTB atau tidak, Joko belum memastikannya. “Nanti kita lihat. Kalau memang itu cukup berat, mau tidak mau akan ada pelaporan lagi,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) NTB, Lalu Yulhaidir menyebut adanya manipulasi emosi yang menjadi dasar tindakan pelaku. “Ketakutan, panik, hingga perasaan tidak berdaya sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan korban,” paparnya.
Terkait ancaman yang digunakan pelaku, Yulhaidir menyebut ucapan seperti ‘Kalau kamu tidak mau mengikuti saya, saya akan membongkar aib dan memberitahu ke orang tuamu’ adalah bentuk tekanan psikologis yang membuat korban kehilangan kontrol.
“Disabilitas bukanlah penghalang bagi seseorang untuk melakukan pelecehan seksual secara fisik maupun psikologis,” tuturnya. (sid)