Akademisi Pro Kontra Terhadap Penetapan Tersangka Korban Begal

Taufan Abadi - Prof H Zaenal Asikin ( ISTIMEWA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Penetapan tersangka terhadap korban begal Murtade alias Amaq Sinta, warga Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah setelah membunuh dua pelaku begal pada Minggu (10/4) menuai sorotan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) Prof H Zaenal Asikin menilai penetapan tersangka terhadap Amaq Sinta terlalu cepat, bahkan sangat gegabah. “Terlalu cepat. Harusnya penyidikan dilakukan secara mendalam dulu. Tanya saksi akhli atas 2 hal. Apakah ini noodwer atau noodwer exses. Ini domain ahli,” ujar Prof Asikin, Rabu (13/4) saat dimintai pendapat terkait langkah kepolisian menetapkan Amaq Sinta sebagai tersangka.

Menurut Prof Asikin, sebelum ditetapkan tersangka diperlukan dapat atau keterangan saksi ahli pidana untuk mengkonstruksikan. Apakah tindakan Amaq Sinta adalah perbuatan pidana atau tidak. Jika sudah ada keterangan ahli yang menyatakan unsur pembelaan terpaksa tidak dipenuhi, maka tindakan polisi sudah tepat. “Tapi jika belum ada saksi ahli, maka polisi terlalu cepat menahan Amaq Sinta dijadikan tersangka,” tambahnya.

Meski demikian, Prof Asikin belum bisa berkomentar lebih jauh soal kasus tersebut. Pasalnya belum mendalami berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Apakah Amaq Sinta layak ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam kasus ini Amaq Sinta sebagai korban yang berusaha menyelamatkan dirinya dari kedua begal yang dibunuhnya. “Saya belum mendalami BAP polisi. Sebab dalam pasal 49 KUHP dibagi dalam 2 katagori. Pembelaan terpaksa dan pembelaan yang luar biasa,” terangnya.

Prof Asikin menjelaskan, maksud dari kedua katagori yang tertuang dalam pasal 49 KUHP itu, untuk pembelaan terpaksa ini alasan pembenar yang dapat menghilangkan unsur pinada. Sedangkan untuk katagori pembelaan yang luar biasa, ini jadi alasan pemaaf yang dapat meringankan hukuman bagi pelaku karena pembelaan diri tapi caranya melampaui batas. ‘’Alasan pemaaf itu pelaku tetap diajukan ke sidang. Tapi hakim akan memberikan putusan bebas atau teringan karena dimaafkan. Sedangkan jika alasan pembenar, polisi tidak melanjutkan penyidikan. Nah, kemungkinan polisi memandang pelaku Amaq Sinta dianggap melakukan pembelaan berlebihan,” tambahnya.

Dalam menangani kasus tersebut, Polres Lombok Tengah tidak hanya menetapkan Amaq Sinta sebagai tersangka. Tetapi juga menetapkan empat orang tersangka lainnya atas nama Oki, Pendi, Wahid, dan Hol, yang merupakan terduga begal. Mereka disangkakan pasal 365 KUHP sub pasal 35 KUHP dengan ancaman hukuman penjara paling lama 12 tahun penjara dikurangi 1/3 ancaman hukuman sehingga menjadi 8 tahun.

Untuk Amaq Sinta sendiri ditetapkan tersangka dengan sangkutan pasal 338 juncto pasal 351 ayat 3 KUHP. Amaq Sinta dikenakan pasal menghilangkan nyawa orang lain dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun dan atau hukuman penjara paling lama tujuh tahun.

Prof Asikin belum bisa memberikan pendapatnya terkait pasal yang dikenakkan terhadap Amaq Sinta sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Tapi untuk penahanan Amaq Sinta, Prof Asikin menilai tidak tepat. ‘’Walaupun ingin diadili tidak meski harus ditahan,’’ katanya.

Pendapat lain diutarakan dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Mataram, Taufan Abadi. Dia menilai, Amaq Sinta sebagai tersangka merupakan hal yang tepat diambil kepolisian. Karena polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan. “Tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan masuk dalam kategori overmacth, noodweer ataupun tidak. Namun, polisi harus menggali dan memuat seluruh fakta guna dihadapkan pada penentuan oleh jaksa yang kemudian dapat diputuskan secar adil oleh hakim,” terang Taufan.

Baca Juga :  Diktuk Bintara Polri Resmi Dimulai, Wakapolda: Jaga Fisik dan Mental

Alasan lain ia menyetujui Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka ialah UU KUHP tidak memberikan penjelasan, indikator atau batas-batas yang dikatakan daya paksa atau pembelaan terpaksa. “Untuk menentukan itu adalah kewenangan hakim di pengadilan, polisi menentukan fakta dan tersangka melalui penyelidikan dan penyidikan. Jika polisi menafsirkan daya paksa atau pembelaan terpaksa, itu berbahaya pada potensi penyalahgunaan kewenangan pada kasus-kasus lain ke depan,” sebutnya.

Dengan penetapan tersangka juga memberikan makna bahwa polisi ingin menyampaikan bahwa perbuatan membunuh tersebut salah, bukan pembelaannya yang salah. “Itu nanti fokus di pengadilan untuk memaafkan atau membenarkan perbuatan, karena KUHP tidak memberi penjelasan dalam lingkup hukum dan teori banyak perdebatan. Jadi berikan ruang hakim memutus,” ujarnya.

Ditambahkan, jika perbuatan pembunuhan dibiarkan, seolah-olah penegak hukum membenarkan perbuatan membunuhnya dengan kata lain menganggap sah jika perbuatan kekerasan ditujukan pada penjahat. Penetapan tersangka salah satunya juga memberikan nuansa pendidikan hukum, bahwa polisi melaksanakan sesuai kewenangannya. “Penetapan tersangka sampai dengan sidang, di satu sisi memberikan kepastian hukum juga harus dilihat dari konteks pemulihan dan rehabilitasi Amaq Sinta. Sisi lain, itu memberikan perlindungan hukum juga,” imbuhnya.

Kendati mendukung penetapan Amaq Sinta sebagai tersangka, Taufan menilai bahwa Amaq Sinta belum tentu dapat hukuman pidana. Terlebih lagi kalau bisa dibuktikan dengan ada daya paksa pembelaan paksa yang dilakukan. “Kalau bisa dibuktikan ada daya paksa atau pembelaan terpaksa, maka tidak dapat dipidana,” katanya.

Berdarkan pandangannya, kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh Amaq Sinta mengarah pada alasan pemaaf, sehingga tidak dapat dikenakan pidana. Pada alasan pemaaf, perbuatannya salah, namun tidak dipertanggungjawabkan atau menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku. “Hal itu sudah diatur dalam pasal 48 dan 49 KUHP,” sebutnya.

Dalam pasal 48 disebutkan, barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Kemudian ketentuan pasal 49 terdapat dua ayat, ayat 1 yaitu barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Sementara pada ayat 2 menyebutkan, pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. “Dalam konsepsi hukum pidana, pasal 48 merujuk pada prinsip daya paksa (overmacht) dan pasal 49 merupakan bentuk pembelaan terpaksa (noodweer),” Taufan mengurai.
Berdasarkan kronologi yang berhasil diungkap, Amaq Sinta termasuk dalam daya paksa (overmacht), maka harus memenuhi tiga peristiwa pokok yaitu pemaksaan secara fisik, psikis dan keadaan pertentangan kewajiban hukum satu dengan lain, pertentangan kewajiban hukum dengan suatu kepentingan hukuman dan pertentangan kepentingan hukum satu dengan lain. Sedangkan pembelaan terpaksa perlu memperhatikan, serangan yang bersifat melawan hukum, bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda milik sendiri atau orang lain dan keperluan meniadakan bahaya dan tidak ada cara lain.

Baca Juga :  Sekda NTB Digadang-gadang Jadi Calon Pj Gubernur

Pada kasus ini, sangat besar kemungkinan terpenuhi kategori daya paksa atau pembelaan terpaksa. Karena melihat kejadian pada malam hari dilakukan begal (orang yang berpengalaman/catatan kejahatan) dan pelaku berjumlah empat orang. Sehingga, apabila hal tersebut dapat dibuktikan dengan fakta lain, seperti pemaksaan fisik/psikis, maka sudah spatutnya korban Amaq Sinta tidak dipidana.
Untuk itu, tinggal membedakan apakah daya paksa atau pembelaan terpaksa. Jika daya paksa, maka pembunuhan itu karena faktor dari luar atau tekanan yang didapatkan sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal. Sedangkan jika pembelaan terpaksa karena adanya ancaman atau serangan lebih dahulu. Dan, jika ada kondisi tambahan pembelaan terpaksa melampaui batas (pasal 49 ayat 2) yaitu apabila serangan korban Amaq Sinta menyebabkan kematian karena keguncangan jiwa, harus dibuktikan oleh polisi dengan bantuan ahli psikologis. ‘’Tapi menurut saya hal ini sulit karena foktor pelaku adalah tukang begal, membawa senjata tajam dan berjumlah empat orang,” katanya.

Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto menjelaskan, terkait penetapan tersangka Amaq Sinta statusnya harus diperjelas dengan cara penyelidikan dan penyidikan lebih mendalam dari pihak kepolisian. Di mana yang bersangkutan melakukan perbuatan luar biasa yang tidak bisa dihindarkan dan harus dilakukannya. Dengan demikian, masyarakat bisa memahami proses verbal atau proses hukum dan yang menentukan status bersalah atau tidak bersalah Amaq Sinta, karena membela diri atau overmacth itu adalah hakim di pengadilan. “Bagaimana hakim bisa menentukan, tentunya harus melalui proses peradilan agar bisa diputuskan dan ditetapkan status dari Amaq Sinta. Kalau orang jadi tersangka belum tentu menjadi terpidana,” sebutnya.

Artanto menjelaskan, status tersangka terhadap seseorang belum tentu dia bersalah. Oleh karena itu, kepolisian membantu menentukan statusnya Amaq Sinta dengan proses verbal atau peradilan. “Hari ini juga kita bantu yang bersangkutan juga untuk proses penangguhan penahanan. Pengacara dan keluarga Amaq Sinta sudah mengajukan penangguhan penahanan,” kata Artanto.

Antara Amaq Sinta dan pembegal ini saling berkaitan. Yakni, pembegal ditetapkan pelaku begal, Amaq Sinta melawan hingga membuat pembegal meninggal dunia. Tindakan tersebut dijelaskan di KUHP adalah overmacht, melakukan upaya kegiatan luar biasa yang tidak bisa dihindarkan oleh yang bersangkutan. “Nanti hakim yang akan menentukan apakah yang bersangkutan ini statusnya bersalah atau tidak. Jadi bukan polisi, tapi polisi harus menyiapkan berkas yang real dan jelas. Polisi juga akan berkoordinasi dengan CJS (criminal justice system) sebagai bagian proses terhadap Amaq Sinta,” jelasnya. (sal/cr-sid)

Komentar Anda